“Menyapa ‘Macan Dahan’ Borneo: Catatan Perjalanan di Kabupaten Kutai Barat” oleh Titan Amaliani, S.KM

Mei 7, 2016

Kutai Barat, 20 April 2016

Tergelitik melihat status sosial media seorang kawan “Cinta Indonesia Sampai Kiamat”. Iseng kutanyakan padanya. Apa sih yang membuatnya begitu mencintai Indonesia, tak juga ku peroleh jawaban yang memuaskan. Saya justru lebih suka menyebutnya Nusantara. Lebih khas. Lebih Original, seperti Sumpah Patih Gajah Mada dulu. Perjalanan ke tanah Borneo kali ini membawa misi tersembunyi. Akhirnya saya tanyakan pada diri sendiri. Apakah saya begitu mencintai Nusantara?

Kabupaten Kutai Barat adalah tujuan pertamaku di Pulau Kalimantan. Riset Ethnografi Kesehatan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan mengambil Kabupaten Kutai Barat menjadi salah satu lokasi penelitian. Menjadi menarik, provinsi yang terkenal karena merupakan salah satu provinsi terkaya di pulau Kalimantan ini juga tidak lepas dari masalah kesehatan. Tak hanya itu, Kabupaten Kutai Barat yang termasuk dalam deretan Kabupaten terkaya di Indonesia, justru menempati posisi 384 dari seluruh kabupaten di Indonesia berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat tahun 2013. Miris memang.

Gambar 1. Bandara Sepinggan Balikpapan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 1. Bandara Sepinggan Balikpapan
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Perjalanan panjang dari tanah Sumatera menuju Kabupaten Kutai Barat yang berada di Provinsi Kalimantan Timur ini dimulai dari Kota Balikpapan. Tanah gersang penuh dengan perkebunan sawit dan hutan serta kota yang baru selesai dibangun, sepi, wajah wajah yang keras, dan berbagai gambaran lainnya yang memenuhi benakku hilang saat melangkahkan kaki keluar bandara. Tidak jauh dengan beberapa kota besar seperti Bandung dan Jogja, Kota ini begitu tenang, teduh, dan ramah.

Perjalanan menuju Kabupaten Kutai Barat yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai pada tahun 1999 ini cukup memakan waktu yang panjang. Saya dan dua teman saya melewati sebelas jam melalui jalur darat dengan dua kali pemberhentian.

Tak sulit menemukan angkutan menuju Kabupaten Kutai Barat. Ada 2 alternatif yang bisa di gunakan. Jalur udara dengan maskapai Kalstar. Serta Jalur darat menggunakan jasa travel yang dapat dengan mudah ditemukan. Minibus Elf yang digunakan rata-rata adalah bus baru dan masih bagus. Jalan beraspal mulus memang pantas diacungi jempol. Namun kontur tanah yang berbukit bukit mengharuskan kita untuk siap ber ‘Roller Coaster‘ sederhana. Turunan dan tanjakan disertai tikungan mendampingi sepanjang perjalanan. Mabok? Bagaimana bisa? sementara pemandangan hamparan hutan di lembah lembah kanan kiri jalan membuatku tertarik. Beberapa ladang buah Naga milik penduduk juga kerap membuatku tak jadi memejamkan mata.

Menjelang senja, langit terlihat begitu bersahaja, matahari mengambang diatas hamparan hijau hutan tropis berkolaborasi dengan semburat jingga romantis. “Zamrud-Khatulistiwa” sebutannya.

Setelah berjam-jam hanya melihat beberapa rumah di kanan dan kiri jalan, pada akhirnya mini bus yang kami tumpangi memasuki wilayah ‘perkotaan’. Lampu berkerlap-kerlip di sepanjang jalan, serta tugu dengan Patung Macan Dahan berdiri di atasnya, bertuliskan ‘Sendawar’, yang akhirnya ku ketahui bukan nama tempat, melainkan sebutan untuk 3 kecamatan yang berdekatan yaitu Melak, Barong Tongkok, dan Sekola Darat. Macan Dahan sendiri merupakan maskot Kabupaten Kutai Barat, yang termasuk hewan dilindungi dan banyak dijumpai di daerah tersebut. Menjelang dini hari kami tiba di Kutai Barat.

Gambar 2. Tugu Macan Dahan Sendawar Sumber: John Tawi Center

Gambar 2. Tugu Macan Dahan Sendawar
Sumber: John Tawi Center

Dayak, begitulah yang terlintas di benakku dan beberapa teman lainnya ketika mendengar nama Kalimantan. “Disini ada suku Kutai, seperti saya. Dayak Benuaq, Dayak Tunjung, Banjar sama Bugis juga banyak. Kalo bupati kita itu Dayak Benuaq, kalo wakilnya orang kita Kutai,” cerita supir yang mengantarkan kami hari itu. Ah… ternyata seperti namanya, daerah ini ditempati juga oleh suku Kutai.

Gambar 2. Islamic Center Kutai Barat Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 2. Islamic Center Kutai Barat
Sumber: Dokumentasi Peneliti

 

Suku Kutai, ternyata merupakan satu rumpun dengan Dayak. Mayoritas suku Kutai beragama Islam, sedangkan Dayak Benuaq mayoritas kristen sehingga tak heran bila Kutai Barat memiliki dua tempat ibadah yang cukup megah di Sendawar yang tak boleh dilewatkan, sebuah gereja dan Islamic Center.

 

Melanggar Batas

Pertemuan pertamaku dengan Etnis Dayak Benuaq terjadi di Dinas Kesehatan, seorang Kepala Dinas Kesehatan. Sambil tersenyum, beliau mempersilahkan kami masuk. Tawa yang selalu terselip dalam cerita cerita tentang daerahnya.

“Ya budaya memang sedikit banyak itu mempengaruhi kesehatan. Adat orang Benuaq itu ndak boleh nyebut nama mertua, manggilnya misalnya kakeknya atau ayahnya Dimar. Tapi saya bingung kalau bawa mertua ke Rumah Sakit masak ngisi data seperti itu. Hahaha… ya tetep kita langgar adat itu.” (Kepala Dinas Kesehatan)

Sambil tertawa ramah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Barat melanjutkan ceritanya, “Orang sakit itu di Beliant. Beliant itu acaranya pakai mantra-mantra… itu pakai narinari. Pengobatan orang sakit.”

“Pada acara Beliant itu lah kita kasi penyuluhan. Kita datang ke masyarakat. Kalo nggak gitu sulit ngumpulkan masyarakat kan,” sahut Kepala Bidang Kesehatan Keluarga ketika kami menyampaikan maksud kedatangan kami. “Kalian lihat nanti Beliant, masih banyak di sana,” sebuah kalimat yang menyejukkan rasa penasaran kami pada praktik Beliant. Eksotisme pengobatan tradisional ternyata bukan masalah utama di wilayah tersebut. Tingginya kematian ibu dan kematian neonatus turut andil menjadi salah satu penyumbang Kutai Barat menempati posisi IPKM terendah di Provinsi Kalimantan Timur.

Di luar dugaan, Kepala Bidang Kesegatan Keluarga menjelaskan penyebab kematian neonatus tidak hanya dikarenakan persalinan yang ditolong oleh dukun, namun juga didukung tingginya angka nikah muda di kabupaten tersebut,

“Banyak kehamilan usia sekolah. Kita mencegah kematian bayi ini seperti menyelesaikan masalah yang satu muncul masalah lainnya. Kalau tidak dari akar masalahnya dicegah akan terus muncul.” (Kepala Bidang Kesehatan Keluarga Dinkes Melawi)

Tanah si Macan Dahan Borneo ini masih menyimpan banyak kejutan untuk membuat siapa saja jatuh cinta. “Kita pikir, Kalimantan masih berupa hutan rimba, orang-orangnya masih primitif dan menakutkan. Padahal, semua sudah jauh berubah. Justru lebih nyaman dibanding hiruk pikuk perkotaan,” celetuk seorang pria perantauan asal Sumatera yang duduk di sebelahku dalam perjalanan pulang. “Kalimantan ternyata diluar ekspektasi kita,” lanjutnya menyimpulkan. Saya mengangguk pasti, meng-iya-kan.

*Titan Amaliani, S.KM (Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan)

Tinggalkan Balasan ke Hery Firdaus Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© PERSAKMI All rights Reserved