“Nias Ku Sayang, Nias barat Ku…., Malang?” oleh Ade Aryanti Fahriani, S.KM

April 16, 2016
Syahdan, tersebut-lah sebuah pulau nan indah rupawan. “Bersembunyi” di sudut Barat Provinsi Sumatera Utara, yang konon katanya menyimpan kharisma surga dunia. Keindahan pantai nan biru, butiran pasir putih, ombak yang menggulung tinggi, beragam biota laut, hingga budaya lokal yang mendunia, telah lama melekat dalam sebutan namanya, si Pulau Nias. Meski demikian, ternyata dibalik “kecantikannya”, pulau ini menyimpan kerapuhan akan bencana alam. Sebut saja bencana Tsunami dan gempa bumi yang datang silih berganti “mewarnai” pembangunan aksebilitas pulau ini.

Peta Nias Barat

Pulau Nias setidaknya terdiri dari 5 Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Nias, Nias Utara, Nias Barat, dan Nias Selatan dengan pusat keramaian di Kota Gunung Sitoli. Namun, diantara 5 Kabupaten/Kota tersebut, Nias Barat-lah Kabupaten yang dapat dibilang kabupaten “pesakitan”. Hal ini setidaknya didasarkan pada data IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat) Tahun 2013 yang menempatkan Kabupaten Nias Barat di peringkat 486 dari 497 Kabupaten Se-Indonesia. Bahkan di bawah Kabupaten di bagian Timur Indonesia sana seperti Kabupaten Merauke (210), Kabuapten Pegunungan Bintang (405), Kabupaten Raja Ampat (448), Kabupaten Puncak Jaya (459), dan Kabupaten Jayawijaya (482). Saya jadi berpikir, apakah Nias Barat tak jauh lebih “layak” daripada bagian Indonesia Timur sana?. Padahal secara fisik berada lebih dekat dengan Pusat Ibukota Indonesia daripada pelosok perbatasan timur negara.

 

Ada Apa Dengan Nias Barat?

Sekelumit pertanyaan saya tentang Nias Barat mulai terkuak ketika saya mulai menjejakan kaki di Bandara Binaka, Kota Gunung Sitoli. Bak artis ibukota, kedatangan saya di bandara langsung disambut oleh mas-mas travel. Namun, ketika saya menyebutkan tujuan ke pusat pemerintahan Nias Barat, mas travel sepertinya agak berat mengiyakan. Pun, jika ada yang mau, mereka menawarkan harga yang lumayan fantastik untuk sekedar melakukan perjalanan darat sepanjang 80 Km. Alasan mereka simpel, “Nias Barat itu itu medannya susah kaka, perlu pikir-pikir ulang untuk bawa kakak ke sana”. Hmm.. apakah se-ekstrim itu??, batin saya.

 

Setelah “ujuk-ujuk” mencari transportasi yang ramah di kantong, akhirnya saya berjodoh dengan angkutan umum Cold L300 yang adanya cuma sekali dalam sehari “mampir” ke Nias Barat. Itu pun setelah ber-nego ria, sebab angkutan umum ini tidak melalui pusat pemerintahan dikarenakan akses jembatan yang terputus. Alternatif terakhir adalah dengan memutar jalan lain yang tentunya memakan waktu lebih lama dari rute biasanya dilewati oleh angkutan ini.

 

Sepertiga perjalanan awal memang terasa mulus, nyaris tanpa hambatan yang berarti. Tapi, semenjak menginjakan perbatasan Kabupaten Nias Barat, tampak beberapa lubang-lubang dan aspal yang amblas disana sini, bahkan ada beberapa titik yang jalannya terputus membentuk jurang kecil yang hanya dihubungkan dengan beberapa bilah kayu. Dan perjalanan ini semakin menantang ketika kami mulai memasuki daerah pegunungan. Menyusuri jalanan bertebing, berlembah, naik-turun, dan bertikungan tajam menjadi pemandangan yang biasa disini. Tak banyak angkutan travel yang menyusuri rute Nias Barat ini. Konon, kondisi jalan seperti ini lah yang membuat mobil travel sekelas avanza sering terperosok ke dalam lubang, sehingga jarang ada supir travel yang bersedia ke sini untuk mengambil risiko kerusakan pada mobil mereka.

 

Gambar Akses Jalan Nias Barat

Gambar Akses Jalan Nias Barat

Sesekali saya membayangkan bagaimanakah jika dalam keadaan darurat melalui jalan begini dengan sepeda motor di malam hari? tentunya sangat berbahaya. Ya…. beginilah kondisi geografis Kabupaten Nias Barat, kontur tanah yang labil membuat jalanan sering amblas disini. Bagaimana mau diperbaiki kalau setiap harinya keadaan jalan dapat berubah-ubah, apalagi jika tempat ini sering disinggahi gempa bumi. Sehingga perbaikan jalan dirasakan sesuatu yang cukup menguras dana dan energi.

 

Kabupaten Nias Barat bisa dibilang kabupaten yang masih muda. Belum genap satu dekade setelah dimekarkan di tahun 2008, kabupaten ini diibaratkan seperti sepasang pengantin baru yang tengah dimabuk cinta. Yah, setidaknya itulah yang dikatakan oleh seorang pejabat Dinas Kesehatan Kabupaten yang saya temui, “Nias Barat ini ibarat pengantin baru yang asik kasmaran. Kan kalau kita bicara ilmu orang baru menikah, seharusnya sebuah rumah tangga baru itu harus punya kompor dan kuali biar bisa masak, baru lama-lama beli piring, sendok. Kan kalau beras bisa saja diberi raskin, lauk bisa dicari di kebun. Nah ini Kabupaten ibarat gitu, bukan kompor dan kuali yang dibeli tapi yang pertama sendok. Punya sendok tapi gak bisa masak, kan percuma. Gini loh, kalau disini pemerintah berlomba-lomba bikin bangunan kantor besar, tapi gak ada tenaga SDM yang handal, bagaimana bisa jalan??. SDM kita masih belum “diolah” maksimal biar kompeten dan siap pakai…” (Pejabat Dinkes Kab. Nisbar)

 

Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Nias Barat

Satu hal yang saya tangkap dari analogi “pengantin baru” tersebut, bahwa untuk membangun kesehatan di Nias Barat ini masih terkendala SDM yang berkualitas. Hal senada juga dibenarkan beliau dalam kesempatan lain,

“Saya ini sebenarnya asli Nias Barat, tapi baru 10 bulan ada disini. Selama kurang lebih 30 tahun saya tugas di Jambi. Jadi kemarin pertama kali ditugaskan di Dinkes sini, saya cuma bisa mengelus dada, jadi selama 30 tahun ini tidak ada perubahan. Awalnya saya semangat membangun kesehatan disini, tapi setelah menjalani 10 bulan ini,,, yah… apa… yah dibilang putus asa yah masih belum lah, tapi.. yah orang-orang disini masih belum sadar untuk membangun, cuma beberapa orang yang saya cocok itu kalau diajak bicara soal membangun kesehatan disini…” (Pejabat Dinkes Kab. Nisbar)

 

Setelah selesai perizinan di Dinas Kesehatan dan Kesbangpol Kabupaten, saya pun diajak oleh orang dinkes untuk “menjenguk” salah satu desa sebagai salah satu gambaran riil kondisi disini. Awalnya saya mengira Dinkes menawarkan tumpangan berupa mobil dinas, tapi perkiraan itu meleset, bukan mobil tapi sebuah motor kelas 150 cc untuk menuju desa sekaligus kembali ke Kota Gunung Sitoli.

 

Bersama kawalan petugas Dinkes, saya melakukan “touring ekstrim” menuju Kota Gunung Sitoli. Ya bagi saya ini ekstrim, bukan hanya melewati jalanan yang berliku tajam dengan lubang dan aspal yang amblas, tapi juga karena saya tak memakai satupun perlengkapan “safety riding”. Terlebih lagi, sempat-sempatnya malam tadi saya membaca status salah satu senior saya (Mas ADL) yang mengisahkan tewasnya pengendara motor dalam perjalanan beliau menuju Kabupaten Bangka. Tentunya hal ini membuat pressure tersendiri dalam mental saya.

 

Sepanjang perjalanan naik-turun gunung yang licin pasca hujan, hati saya terus “ber-komat-kamit”. Hampir satu jam setengah, akhirnya kami berhenti sejenak di rumah salah satu warga untuk meninjau sebuah kasus kesehatan disini. Setelah turun dari motor, sekujur tubuh saya langsung gemetar. Jujur saja, mulai kemarin siang sampai sore ini perut saya hanya diisi sepotong roti, air, dan sebungkus mie instan. Yah, karena mencari makanan yang halal disini sulit. Tak dapat dielakan konsentrasi saya pun buyar, mental saya pun mulai tak stabil akibat fisik yang terforsir.

 

Sebuah Keterenyuhan…

Sebuah rumah beton setengah jadi berdiri tegar di depan saya. Sekilas rumah berlantai dua ini memang terlihat lebih “mewah” daripada kebanyakan tetangganya yang hanya berdindingkan papan. Sesekali terlihat beberapa ekor anak ayam menyerobot keluar masuk ke dalam rumah, hingga tak jarang juga ditemunkan sisa-sisa kotoran ayam yang masih menempel “segar” di lantai semennya.

Tak perlu menunggu lama, kami pun segera dipersilakan masuk oleh sang tuan rumah. Terlihat beberapa kursi plastik masih bertumpang tindih di salah satu sudut ruang 3 kali 4 meter ini. Sambil mempersilakan kami duduk, sang tuan rumah pun menanyakan maksud kedatangan kami. “Pak kami datang kesini mau melihat anak bapak Niki, apakah dia sekarang ada di rumah?” Jawab petugas Dinkes yang mengawal kami. Bak gayung bersambut, tanpa keberatan, sang tuan rumah pun langsung menyuruh istrinya untuk membawa anaknya Niki ke ruang tamu.

 

Dari balik tirai lusuh, terlihat sang istri sedang menggendong seorang anak seukuran balita mungil sekitar 2 tahunan. Dalam dekapan sang ibu, Niki terlihat pasif dibandingkan dengan balita kebanyakan. Terlebih lagi, dapat terlihat dengan jelas guratan tulang berbalut kulit dipergelangan tangannya. Dari sekilas pandang saja saya sudah menyangka bahwa Niki sedang mengidap gizi buruk.

Kecurigaan ini pun terungkap ketika kami menanyakan umur Niki sekarang. Dengan tubuh mungilnya ini seharusnya Niki sudah berusia 7 tahun. Ya 7 tahun dengan tubuh semungil balita 2 tahun. Tumbuh kembang Niki terganggu sejak dia berusia 5 bulan, tapi hanya satu setengah tahun terakhir ini keberadaan Niki disadari oleh petugas kesehatan setempat. Artinya setelah menginjak umur 5 tahunan, Niki baru saja diberikan penangan medis.

 

Tak banyak aktivitas yang dapat dilakukan oleh Niki selain menggeliat dengan tatapan kosong dipangkuan ibunya. Jangankan untuk bicara layaknya anak seumurannya, untuk menangis saja sepertinya butuh tenaga ekstra untuk mengekspresikannya. Sesekali terdengan suara batuk-batuk diserta nafas yang pendek dari rongga dadanya. Pada awalnya saya curiga bahwa Niki juga mengidap pneumonia. Tapi kecurigaan itu terbantahkan ketika sang ibu dengan santainya mengatakan bahwa Niki sekarang sedang terserang TBC di usianya yang masih belia.

 

Tak dapat dielakan, rasa iba muncul begitu saja dalam benak saya, mengalahkan rasa lelah yang sedang mengrogoti tubuh yang terforsir ini. Ditambah lagi, saya mendengar bahwa Niki sekarang tidak mendapatkan penanganan medis lagi. Penanganan Niki hanya bertahan sekitar 5 bulan, kemudian putus tanpa jejak dan usaha dari keluarga maupun tenaga kesehatan yang ada. Bermacam alasan pembelaan diri baik dari keluarga maupun tenaga kesehatan yang ada. Toh apapun itu, apakah sebuah nyawa tak berdosa lebih murah daripada sekedar harga diri orang dewasa?.

 

Kasus Niki hanyalah satu dari kasus-kasus lain yang masih “tersembunyi” dari “pengamatan” dinas kesehatan setempat. Masih ada Niki-niki lain yang sekarang ini hidup dalam kungkungan gizi buruk. Setidaknya dari data IPKM tahun 2013, sebanyak 37,42% balita di Nias Barat menderita gizi buruk dan gizi kurang. Jumlah ini tentunya bukan hal yang membanggakan untuk pulau secantik Nias.

 

Dalam perjalanan pulang ke Kota Gunung Sitoli saya pun termenung, mengingat-ingat perjuangan saya menjejakan kaki disini. Perjalanan “touring ekstrim tanpa safety riding” dan keterbatasan fasilitas hidup tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan permasalahan kesehatan yang tengah dihadapi masyarakat sini. Setidaknya harus ada yang “menyibak” tabir kemelut si Kabupaten peringkat 486 ini dari berbagai sisi. Masih terlalu dini untuk saya merasa “cengeng” meratapi kondisi lokasi pengumpulan data penelitian untuk 2 bulan ke depan. Dengan ditemani indahnya Pantai Nias di Kota Gunung Sitoli, saya pun hanya bisa berujar, aah.. Nias ku Sayang, Nias Barat ku….., Malang?.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© PERSAKMI All rights Reserved