Sekilas Pembangunan Kesehatan di Kota Mojokerto

Januari 22, 2018

Surabaya, 21 Januari 2018.

Kota Mojokerto adalah salah 1 dari 9 kota yang ada di Provinsi Jawa Timur, dan salah satu dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Secara kasat mata Kota Mojokerto menunjukkan pembangunan yang di atas rata-rata di tingkat provinsi maupun secara nasional.

Di tingkat Provinsi, pembangunan kesehatan di Kabupaten Mojokerto menunjukkan prestasi yang cukup menggembirakan. Data pemeringkatan IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat) tahun 2007, yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI., menempatkan Kota Mojokerto pada ranking 20 dari 440 kabupaten/kota di Indonesia, atau setara dengan ranking 12 dari 38 kabupaten/kot

Sekilas Pembangunan Kesehatan di Kota Mojokerto

Sekilas Pembangunan Kesehatan di Kota Mojokerto

a di Provinsi Jawa Timur.

Posisi Kota Mojokerto sedikit bergeser pada indeks pemeringkatan yang sama di tahun 2013. Kota Mojokerto merosot menjadi ranking 55 dari 497 kabupaten/kota yang ada pada tahun tersebut. Posisi ini setara dengan ranking 7 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Pada tahun 2013 memang secara umum Provinsi Jawa Timur relatif mengalami kemerosotan dibanding sebelumnya. Pada tahun 2007 Provinsi Jawa Timur menempati ranking 8 dari 33 provinsi di Indonesia, dan merosot menjadi ranking 11 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia pada tahun 2013.

Berdasarkan hasil survei Podes (Potensi Desa) yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, Kota Mojokerto memiliki input tenaga dokter dan tenaga bidan yang jauh di atas rata-rata provinsi maupun nasional. Tenaga dokter per Puskesmas di Kota Mojokerto memiliki rasio 10,2. Rasio ini 7 kali lipat dibanding rasio di tingkat nasional. Sementara itu rasio bidan per Puskesmas di Kota Mojokerto mencapai 2,67, yang lebih banyak 1,7 kali dibanding rasio bidan di tingkat nasional.

Dengan melihat input yang sedemikian bagus, maka tidak mengherankan bila kondisi output di Kota Mojokerto menjadi lebih baik dibanding wilayah lain.

Terlihat bahwa Kota Mojokerto secara rata-rata unggul pada cakupan yang didominasi oleh upaya tenaga kesehatan. Sementara itu pada indikator prevalensi KEK (Kurang Energi Protein) pada WUS (Wanita Usia Subur) justru Kota Mojokerto lebih tinggi tipis di atas rata-rata prevalensi di tingkat provinsi maupun nasional. Pada indikator ini memang lebih dipengaruhi oleh asupan makanan dalam rumah tangga, atau lebih jauh lagi dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi keluarga. Tapi tentu saja bukan berarti tidak bisa diintervensi. Dengan pemberian pengetahuan yang baik tentang gizi dan pemanfaatan makanan lokal yang baik akan lebih meningkatkan status gizi para wanita usia subur di Kota Mojokerto.

Kondisi Kota Mojokerto yang datar relatif mudah dijangkau membuat cakupan penimbangan balita menjadi lebih baik. Meski demikian, hal tersebut tidak membuat cakupan imunisasi lengkap pada balita menjadi lebih baik, bahkan cenderung jauh di bawah rata-rata, baik secara provinsi maupun nasional.

Sementara itu sepertiga balita di Kota Mojokerto secara fisik kontet atau cebol (pendek). Meski masih lebih rendah dibanding rata-rata prevalensi provinsi maupun nasional, hal ini tentu memprihatinkan bila kita perhatikan bahwa aksesibilitas Kota Mojokerto yang relatif mudah dalam hal informasi, sumber daya maupun akses secara fisik.

Di sisi lain prevalensi balita gemuk di Kota Mojokerto sudah lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi maupun nasional. Dari kedua angka prevalensi ini kita bisa simpulkan bahwa ada beban ganda (double burden) bagi Kota Mojokerto dalam status gizi balita.

Catatan manis dibukukan oleh Kota Mojokerto khusus pada capaian indikator kesehatan lingkungan. Pencapaian tinggi terjadi pada indikator input cakupan dan akses sumber air bersih yang mencapai 92,35%, dan cakupan akses sanitasi yang mencapai 85,07%, jauh di atas rata-rata cakupan provinsi maupun nasional. Pada proporsi penduduk dengan perilaku cuci tangan dengan benar dan perilaku buang air besar dengan benar, Kota Mojokerto memiliki persentase proporsi yang cukup baik.

Meski membukukan rata-rata yang baik di bidang kesehatan lingkungan, yang masih menjadi catatan Kota Mojokerto adalah tingginya prevalensi diare pada balita yang mencapai angka 12,57%. Angka yang dibukukan ini lebih tinggi dari rata-rata Provinsi Jawa Timur yang berada pada kisaran 11,78%, dan rata-rata nasional sebesar 11,99%.

Dalam perilaku hidup sehat, masyarakat Kota Mojokerto bisa dikatakan sudah mempunyai perilaku yang cukup baik, terutama pada perilaku merokok. Tetapi dalam urusan aktifitas fisik masih perlu upaya lebih keras lagi untuk menjadi sebuah gerakan bersama. Kewaspadaan harus lebih ditingkatkan lagi, informasi yang berkaitan dengan penyakit degeneratif harus lebih meluas.

Kurangnya aktivitas fisik disinyalir berhubungan dengan prevalensi obesitas sentral Kota Mojokerto yang mencapai 31,74%. Angka ini di atas rata-rata provinsi dan nasional. Artinya, kurangnya aktivitas fisik orang Mojokerto membuat mereka mulai memiliki lingkar pinggang yang melebar.

Indikator lain yang mendukung perlunya kewaspadaan soal penyakit degeneratif ini adalah prevalensi diabetes mellitus yang sudah merangkak naik lebih tinggi dari rata-rata prevalensi provinsi maupun nasional. Prevalensi hipertensi pun sudah berada di atas rata-rata nasional, meski sedikit di bawah rata-rata prevalensi provinsi.

***

Memang benar bahwa catatan pencapaian pembangunan kesehatan di Kota Mojokerto ini dibuat berdasarkan data tahun 2013, sudah lima tahun terlewat. Tetapi apakah sudah ada perubahan yang signifikan setelah lima tahun? Kita akan lihat pada hasil survei Riskesdas yang akan diselenggarakan tahun ini. Salam sehat! (@dl)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© PERSAKMI All rights Reserved