“Setelah Iuran BPJS Naik, Lalu Apa?” oleh Agus Widjanarko, SKM., MPH

Maret 15, 2016

[ Jawa Pos – OPINI – Senin, 14 Maret 2016 ]

Setelah diterpa rumor status koma, akhirnya BPJS Kesehatan mendapatkan suntikan darah segar dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016. Peraturan yang bertajuk Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan itu ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 29 Februari 2016 serta diundangkan pada 1 Maret 2016.

Inti dari Perpres tersebut adalah adanya kenaikan iuran yang berlaku efektif pada 1 April 2016 bagi peserta mandiri Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Yaitu bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja. Di samping itu, diatur kenaikan iuran bagi peserta penerima bantuan iuran (ditanggung oleh pemerintah) yang jumlahnya mencapai 92,4 juta jiwa.

foto: Jawa Pos

Ilustrasi: Jawa Pos

Penyesuaian juga diberlakukan pada komposisi iuran bagi peserta pekerja penerima upah yang gajinya dianggarkan pemerintah. Sebelumnya, komposisi iuran adalah 1 persen dibayar pekerja, 4 persen dibayar pemberi kerja. Dengan perpres baru, komposisi pembayaran iuran bergeser menjadi 2 persen oleh pekerja dan 3 persen pemberi kerja. Khusus pekerja yang upahnya tidak dianggarkan pemerintah komposisi iuran tidak mengalami perubahan. Tetap 1:4.

Bagi BPJS Kesehatan, kenaikan iuran tersebut jelas diharapkan dapat membantu likuiditas yang pada gilirannya mampu menekan angka defisit. Dari jumlah kepesertaan yang mencapai lebih dari 152 juta jiwa, total iuaran yang diterima tidak setara dengan biaya pengeluaran yang dikelola.

BPJS Kesehatan mengalamai likuiditas hingga Rp. 5,85 triliun pada akhir 2015. Angka Itu meningkat bila dibandingkan defisit pada akhir tahun pertama pelaksanaan JKN (2014). Saat itu aset neto mencatatkan defisit Rp 3,3 triliun.

Kendati demikian, tampaknya, BPJS kesehatan belum bisa bernapas lega terkait defisit tersebut. Sebab, harapan untuk menikkan iuran peserta penerima bantuan sesuai usulan Dewan Jaminan Sosial nasional sebesar Rp. 36.000 per jiwa per bulan hanya disetujui menjadi Rp. 23.000 per jiwa per bulan yang berlaku sejak 1 januari 2016. Kondisi itu dikhawatirkan tetap mendorong adanya defisit pada akhir tahun nanti.

Mutu Layanan

Seiring kenaikan iuran tersebut, tentu muncuk tuntutan dari para pemangku tuntutan dari para pemangku kepentingan dan segenap peserta BPJS Kesehatan. Yakni, supaya ada peningkatan mutu layanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Baik tingkat pertama maupun tingkat lanjut.

Sekilas memang mestinya tampak adanya korelasi antara kenaikan iuran dengan peningkatan layanan. Namun, pelaksanaan di lapangan menjadi tidak mudah manakala fasilitas kesehatan, terutama di tingkat lanjut, masa terbelenggu oleh regulasi yang dibuat BPJS Kesehatan.

Selama ini rumah sakit selaku fasiitas kesehatan tingkat lanjut telah berupaya mengatur strategi layanan. Yaitu, agar di satu sisit tetap dapat menyediakan layanan kesehatan yang bermutu kepada peserta. Dan, di sisi lain, klaim jasa layanan yang diajukan bisa diterima pihak BPJS Kesehatan. Sebab, bukan pekerjaan mudah menerjamahakn regulasi yang diterbitkan dengan upaya untuk mengedepankan standar layanan dan rasa kemanusiaan dalam melayani peserta.

Alhasil, rumah sakit akan menjadi tumpuan keluhan dan kekesalan peserta bila mereka mengalami ketidaknyamanan dalam menerima layanan kesehahatan. Sebaliknya, penghargaan dan ucapan terima aksih sering dialamatkan kepada BPJS Kesehatan jika peserta menikmati layanan kesehatan yang memuaskan dan melebih ekspektasinya.

Kendali mutu dan kendali biaya adalah keniscayaan dalam upaya rumah sakit menyediakan layanan yang terbaik. Akan menjadi lebih baik bermutu bila BPJS kesehatan mengakomodasinya dengan mengeluarkan regulasi-regulasi yang berkearifan dan penuh rasa keadilan, sehinggga mampu mewarnai atmosfer layanan yang holistis komprehensif bagi peserta di fasilitas kesehatan tingkat lanjut ini.

Belanja Keluarga

Selanjutnya, kenaikan iuran diperkirakan juga menuai dampak kurang menggembirakan diri para peserta, terutama yang bersifat mandiri. Kondisi perekonomian yang belum berpihak pada rakyat kebanyakan bisa menimbulakan keengganan peserta untuk bertahan pada kelas yang sejau ini telah dipilihnya.

Bukan perkara mudah menggeser alokasi belanja kelaurga untuk menambahkannya pada pos iuran BPJS Kesehatan. Untuk tetap mendapat pelayanan kelas satu, setiap peserta harus menyediakan tambahan dana Rp. 20.500 per jiwa per bulan. Bila maksimal jumlah keluarga yang ditanggung adalah lima orang, otomatis sudah lebihd dari Rp. 100.000 anggaran belanja keluarga digeser.

Menjadi ironi jika terdapat peserta yang sebelumnya mengambil premi kelas tiga, tetapi karena tidak mampu menyediakn tambahan dana Rp 4.500 per jiwa per bulan, mendadak tidak memeperpanjang kepesertaannya pada BPJS Kesehatan. Jelas ini akan menjadi beban tersendiri bagi pemerintah (daerah) tempat warga tersebut berada. Sebab, untuk digolongka sebagai peserta penerima bantuan iuran, juga diperlukan proses administrasi yang panajng dan melelahkan. (*)

*Ketua PERSAKMI Pengurus Cabang Kota Pasuruan, Ahli asuransi kesehatan dari Pamjaki, alumnus S1 – Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga – alumnus S2- Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana UGM

 

Unduh Artikel OPINI disini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© PERSAKMI All rights Reserved