“Ironi di Tengah Kekayaan Potensi Wisata : Catatan Perjalanan ke Kabupaten Sumba Barat Daya” oleh Marselinus Laga Nur, SKM, M.Kes
Mei 13, 2016
Kodi, April 2016
“Tidak usah ke sana pak, daerahnya rawan.” Sebenarnya saya tidak terlalu terkejut mendengar pernyataan tersebut. Daerah Kodi di Kabupaten Sumba Barat Daya dari dahulu memang telah terkenal sebagai daerah yang rawan konflik. Pencurian (terutama hewan ternak) sampai dengan masalah yang sepele dapat berujung pada konflik berdarah. Yang membuat saya terkejut dan bercampur agak marah karena pernyataan tersebut diucapkan salah seorang mahasiswa. Ya. Saat itu kami sedang mendiskusikan tentang rencana praktek ‘Survei Konsumsi Makanan dan Kesehatan’ yang menjadi bagian dari mata kuliah Dasar Ilmu Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Untungnya sebagian besar mahasiswa yang lainnya sepakat dan menyanggupi, maka kami pun menetapkan untuk pergi ke Kampung Adat Ratenggalo.
Sejak masih kecil dan mulai belajar membaca, kira-kira tahun 1988, saya sering membaca Surat Kabar Mingguan DIAN, sebuah surat kabar lokal Nusa Tenggara Timur. Dari surat kabar tersebut beberapa kali saya membaca tentang pencurian dengan kekerasan yang terjadi di Kodi. Bahkan seringkali terjadi pembunuhan menyertainya. Gambaran tentang daerah ini mulai menyeramkan.
Selanjutnya saya semakin terpapar informasi serupa. Di tahun 1998 TVRI memberitakan tentang pembunuhan dan pembakaran kampung karena dugaan kecurangan tes CPNS. Dan setelah itu informasi lisan saat membicarakan tentang Pulau Sumba selalu dipenuhi cerita tentang pencurian dan aksi kekerasan. Konflik pasca pilkada terakhir tahun 2013 di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) juga berlangsung berkepanjangan dengan memakan korban jiwa dan rumah terbakar yang tak terhitung.
Namun semua hal tersebut malah membuat saya merasa tertantang untuk dapat mengetahui gambaran Kodi secara langsung. Dugaan saya adalah, jika semua informasi tersebut benar, tidak mungkin masih ada masyarakat yang mau tinggal di sana. Malah setelah Kabupaten SBD mekar dari Kabupaten Sumba Barat, Kecamatan Kodi pun bisa dimekarkan menjadi tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Kodi sendiri, Kodi Bangedo dan Kodi Utara. Pertanyaan lain yang muncul dalam benak saya adalah gambaran pariwisata yang semakin maju serta beberapa destinasi wisata yang semakin terkenal ke dalam dan luar negeri.
Lama saya menatap peta wisata di dinding lobi Hotel Sumba Sejahtera yang saya tinggali sebanyak empat kali selama mengajar di Kampus Universitas Nusa Cendana III. Dan memang butuh waktu yang lama untuk membaca satu persatu destinasi wisata di Kabupaten SBD yang sangat banyak dan sebagian besar berada di wilayah Kodi. Jenis destinasi wisata yang ada di daerah Kodi berupa pantai, danau dan kampung adat yang memiliki keunikan berupa atap menjulang beserta pekuburan megalitiknya.
Kabupaten SBD awalnya terkenal saat pesawat Adam Air mendarat secara darurat di Bandara Tambolaka (saat itu masih tergabung dengan Kabupaten Sumba Barat). Selanjutnya Kabupaten SBD lebih dikenal lagi dengan sengketa Pilkada yang memakan banyak korban jiwa dan harta benda.
Dalam beberapa kali kesempatan dari atas pesawat yang saya tumpangi untuk pergi ke Kabupaten Sumba Barat dapat saya saksikan lahan hijau yang terhampar luas. Agak sedikit berbeda dengan Sumba Timur dan Sumba Tengah. Topografi yang datar tanpa bukit-bukit terjal tentunya merupakan lahan yang ideal untuk pemukiman, pertanian dan peternakan. Namun kebanyakan masih berupa lahan kosong yang belum dihuni dan dikelola. Potensi lahan, selain pariwisata, seharusnya dapat memberikan kemakmuran bagi masyarakat Kodi dan Kabupaten SBD pada umumnya. Namun hal itu tidak sesuai kenyataan. Masih banyak masyarakat Kabupaten SBD termasuk Kodi yang berkategori miskin.
Kemiskinan di Kabupaten SBD turut berpengaruh pada gambaran kesehatan secara kuantitatif. Skor Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) tahun 2013, Kabupaten SBD berada pada urutan 488 dari 497 kabupaten/kota, dan berada pada urutan kedua dari bawah di Propinsi NTT, di atas Kabupaten Manggarai Timur. Skor ini lebih menonjol pada indikator-indikator yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan yaitu 0,0691 berada pada urutan empat dari bawah di atas Kabupaten Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sabu Raijua.
Cakupan akses ke air bersih SBD 31,01 terendah nomor dua di atas Kabupaten Sumba tengah. Prevalensi diare 18,28 tertinggi kedua di bawah Kabupaten Manggarai Timur, proporsi mencuci tangan dengan benar 19,34, terendah nomor dua di atas Kabupaten Alor, cakupan akses sanitasi hanya 1,45 terendah kedua di atas Sabu raijua.
Transportasi ke Kabupaten SBD dan ke wilayah Kodi sebenarnya tidak begitu sulit. Wilayah Kabupaten SBD dapat dijangkau dari darat laut dan udara. Melalui darat dapat ditempuh dari Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat. Transportasi melalui laut tersedia melalui Pelabuhan Waikelo dimana kapal barang banyak berlabuh, serta pelabuhan feri yang secara regular melayari rute Waikelo-Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Melalui udara, ada bandara Tambolaka yang didarati maskapai Garuda, Wings air dan Transnusa setiap hari.
Selanjutnya perjalanan ke Kodi tidak terlalu sukar. Prasarana jalan tersedia cukup memadai dan dapat ditempuh dari tiga jalur yaitu dari Weetebula (ibukota kabupaten SBD), dan dua jalur dari Waimangura. Topografi yang relatif datar juga membuat perjalanan terasa lebih nyaman.
Untuk sarana transportasi regular, tersedia bis dari Weetebula dan dari Waikabubak (ibukota Kabupaten Sumba Barat) dengan tarif 45 ribu. Selanjutnya untuk sampai ke sejumlah tempat wisata, contohnya kampung adat dan pantai ratenggaro yang kami datangi dapat dilanjutkan dengan ojek sepeda motor seharga sepuluh ribu rupiah (dapat berubah bila tukang ojek melihat penumpangnya adalah wisatawan yang belum terlalu paham wilayah).
Gambar 1. Bis rute Weetebula – Kodi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pada kesempatan kali ini saya mengunjungi Kodi bersama para mahasiswa Prodi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Perjalanan kami tempuh bersama dengan sepeda motor. Sepanjang perjalanan banyak terhampar padi ladang, jagung dan jambu mete. Sebelum sampai ke ratenggaro kami banyak melihat kampung-kampung adat lainnya dengan atap rumah berupa menara yang menjulang. Sesekali kami melihat di pinggir jalan warga yang membawa kerbau untk mencari makan. Kami singgah ke Puskesmas untuk menjemput Bidan Imelda yang pernah cukup lama mengabdi di Desa Waiha di mana Kampung Adat Ratenggaro berlokasi.
Gambar 2. Hamparan jagung sepanjang perjalanan masuk menuju Kampung Adat Ratenggaro
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sesampainya di Kampung Adat Ratenggaro kami langsung berhadapan dengan rumah dan kuburan yang unik. Rumah beratap alang-alang dengan atap berbentuk menara tinggi menjulang. Tiang dibuat dari kayu kadimbul yang merupakan tanaman endemik di Kodi dan Wewewa, sementara lantai dan dinding dibuat dari bambu yang dibelah. Batang kelapa digunakan untuk gelagar tempat alang-alang diikat. Tiang kayu terdiri dari tiga jenis. Paling tengah terdiri dari empat buah dan berukuran sangat besar. Tiang tengah ini menyangga bagian tengah atap yang berbentuk menara. Selanjutnya terdapat dua belas tiang berukuran lebih kecil yang menyangga ujung atap terletak sejajar dan membentuk dinding rumah. Kemudian empat belas tiang lagi yang lebih kecil yang menyangga terusan atap yang membentuk serambi.
Pada seluruh tiang terdapat bermacam-macam ukiran. Saya masuk ke salah satu rumah yaitu rumah bapak RK. Dia menceritakan bahwa perkampungan adat ini pernah terbakar pada tahun 1964 namun segera dibangun lagi.
Di setiap generasi harus ada yang tinggal menjaga rumah adat. Karena rumah adat yang tidak ditinggali akan mudah rusak dimakan rayap. Bapak RK menunjukkan salah satu tiang utama di mana terukir nama silsilah dari generasi ke generasi. Anggota keluarga yang tidak tinggal di kampung adat kini tingal di sekitarnya, di Weetebula ataupun kota-kota lainnya tergantung pekerjaannya, namun dalam setiap acara adat baik perkawinan maupun kematian akan kembali untuk melaksanakan ritual adat di kampung asalnya sebelum melanjutkan di lembaga gereja dan negara.
Sehari-hari warga kampung bekerja sebagai petani sekaligus peternak. Pertanian diperlukan untuk memberikan suplai makanan. Sedangkan peternakan untuk menghasilkan hewan yang diperlukan untuk urusan adat. “Hampir setiap tahun kami membutuhkan hewan untuk urusan adat. Setiap ada keluarga yang meninggal kami harus membawa hewan, apalagi kalau dulu dia membawa hewan untuk kami.”
Pertanian warga kampung Retenggaro kebanyakan berupa padi ladang, jagung, umbi-umbian dan sayur mayur. Sebagian besar hasil pertanian digunakan untuk konsumsi keluarga dan pakan ternak. Pakan ternak orang Sumba boleh dibilang cukup mewah. Selain makanan yang umumnya sama dengan daerah lain, kerbau dan babi juga diberi makan sayur yang direbus beserta batang dan daun talas. Hal ini karena hewan memiliki nilai adat dan nilai sosial yang tinggi saat dihadirkan ke acara adat. Kerbau dinilai dari ukuran tanduknya, sedangkan babi dinilai dari tinggi badan, panjang taring, dan tidak bercacat.
Gambar 3. Batang Talas yang Akan Direbus untuk Pakan Kerbau dan Babi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saya sempat masuk ke salah satu rumah adat dan melihat ukiran-ukiran beserta keadaan rumah. Kamar anak laki-laki berada di sebelah kanan sedangkan perempuan di sebelah kiri. Saya tertarik melihat tungku di tengah-tengah rumah beserta daging iris yang diletakkan di atasnya. Rupanya bagian tengah rumah yang berada tepat di bawah atap menara digunakan sebagai dapur. Api ataupun bara dibiarkan tetap meyala sehingga asap tetap keluar. Rupanya selain daging, ada juga jagung yang diletakkan sebagai persediaan.
“Daging itu kami dapatkan dari saudara kami yang barusan ini melakasanakan ritual adatnya. Anggota keluarganya baru saja meninggal dan kami melayat bawa hewan. Kalau pulang pasti bawa daging. Tidak habis dimakan sehari. Kalau ditaruh di situ bisa berbulan-bulan tidak rusak”. (Istri pak RK)
Demikian istri bapak RK bercerita tentang dapur dan daging di tengah rumah mereka. Melihat itu saya sempat terpikirkan manfaat kesehatan dari atap yang tinggi menjulang. Tekanan udara di bagian tengah rumah akan lebih rendah karena ruang yang lebih tinggi, dengan demikian asap akan mudah naik ke atas dan diteruskan ke seluruh bagian atap yang terbuat dari alang-alang. Atap terhindar dari kerusakan namun sekaligus menjaga sirkulasi udara sehingga penghuni rumah tidak terganggu oleh asap dari dapur.
Cadangan makanan pun akan tetap terjaga karena profesi mereka sebagai petani ditambah keterbatasan ekonomi tidak memungkinkan untuk membeli makanan yang banyak tetapi lebih besar menggantungkan ketahanan pangannya dari lahan pertanian mereka. Sirkulasi udara yang terjaga serta tungku yang tetap menyala mengurangi kemungkinan hidupnya vektor dan mikroba penyebab penyakit seperti bakteri MTB dan nyamuk yang menyebarkan malaria dan demam berdarah.
Namun demikian tidak seluruh kondisi kampung berpengaruh baik pada kesehatan. Data IPKM tentang indikator-indikator kesehatan lingkungan yang rendah tercermin juga pada keadaan di Kampung adat ini. Desain rumah adat tidak disertai dengan Kamar mandi dan toilet. Bapak RK menunjukkan sebuah bangunan di sudut kampung.
Gambar 4. Irisan Daging di Atas Tungku
Sumber: Dokumentasi Peneliti
“Pemerintah pariwisata bangun itu wc dan kamar mandi dan buat sumur di luar kampung. Sumur untuk tiga kampung adat ini tapi wc itu untuk seluruh warga kampung adat ini pakai.” (pak RK)
Selanjutnya nona M anak bapak RK menceritakan bahwa banyak orang mandi dan mencuci di sumur saja. Air dibawa ke rumah untuk masak dan minum walaupun rasanya agak payau. Jumlah air cukup untuk di pakai tiga kampung adat di sekitar sumur tersebut.
Gambaran tentang orang Kodi yang dekil telah saya dapatkan dari televisi dan cerita orang-orang yang pernah ke Kodi. Bahkan sebelum kami ke sini ketua kelas telah menjelaskan ke seluruh mahasiswa untuk jangan menunjukkan sikap jijik pada anak-anak yang kotor. Di pantai saya bertemu dengan empat orang anak yang sesuai dengan gambaran tadi. Dengan baju yang kotor mereka tetap kelihatan ceria berlarian dari satu kubur batu ke kubur batu yang lain. Walaupun mereka datang saat saya panggil namun saya tidak bisa berkomunikasi dengan mereka karena ternyata mereka tidak bisa berbahasa Indonesia.
Rupanya masalah di Kodi bukan hanya ekonomi, kemiskinan dan kesehatan. Ternyata pendidikan juga masih menjadi masalah. Bidan Imelda bercerita bahwa sebagian besar warga terlebih anak-anak tidak bisa berbahasa Indonesia. Guru-guru terpaksa mengajar dengan Bahasa Kodi. Jika dipaksa menggunakan Bahasa Indonesia maka mereka tidak bisa paham.
Sebenarnya Pulau Sumba memiliki banyak orang cerdas. Profesor Frans Umbu Datta pernah menjadi Rektor saya di Universitas Nusa cendana, sedang Profesor Kebamoto adalah professor matematika yang terkenal di Amerika, yang berasal dari pulau ini. Di luar nama-nama terkenal itu banyak teman-teman kerja saya dengan kecerdasan luar biasa. Namun itu semua seolah hanya menjadi puncak gunung es di mana mereka muncul di permukaan sedangkan yang lainnya tenggelam di bawah air. Bahasa menjadi salah satu kendala untuk bisa menangkap perkembangan ilmu pengetahuan di Kodi.
Cerita dari Kodi lainnya yang juga saya rasakan dalam kunjungan kali ini adalah tentang kekerasan yang telah melegenda. Saat masuk ke kampung adat dan baru saja duduk di dalam salah satu rumah, ternyata kami disusul oleh seorang pemuda dengan sepeda motornya. Tubuh pemuda tersebut tidak terlalu besar dibanding keberaniannya. Namun dia langsung berbicara dengan cukup kasar pada sejumlah mahasiswa dengan bahasa Kodi. Karena tidak semua mahasiswa bisa berbahasa Kodi, Bidan Imelda bersama tuan rumah langsung ke luar untuk melerai dan akhirnya dia langsung pergi. Ternyata dia tersinggung karena hampir disenggol mahasiswa.
Terlepas insiden yang terjadi di jalan namun tersirat keberaniannya. Jumlah kami dua puluh delapan orang dengan sebagian besar pria dengan badan lebih besar darinya namun keberaniannya sungguh luar biasa. Tidak mengherankan kalau di sini pertikaian sering terjadi yang berujung pada kekerasan fisik.
Momen lain yang dapat mendukung kesan ini adalah saat seorang mahasiswa hendak pergi sendiri usai makan siang bersama di pantai namun dilarang oleh bapak RK. Dia kuatir dia dicegat dan dirampok oleh warga lain di kampung sebelah. Walaupun di siang hari namun ketakutan itu tetap ada.
Telah diceritakan sebelumnya bahwa kebutuhan pangan warga sebagian besar disuplai dari pertanian sendiri. Dalam survei konsumsi makanan yang dilakukan mahasiswa menemukan bahwa seluruh warga kampung memiliki pola konsumsi yang hampir seragam yaitu nasi jagung sebagai makanan pokoknya, kemudian daun labu, daun singkong dan daun pepaya sebagai sayurnya. Selain itu daging yang didapatkan dari ‘jatah’ mereka pada ritual adat.
Secara kualitatif warga bercerita bahwa pola itu bertahan hampir sepanjang tahun. Selain itu mereka tidak mengawali makan pagi dengan makanan berat yaitu nasi dan lauk-pauknya namun dengan minum kopi serta makanan ringan seperti singkong, ubi jalar atau ubi talas rebus dan kacang goreng. Walaupun menurut versi mereka itu adalah makanan ringan namun dari perhitungan komposisi gizi oleh mahasiswa, nilai kalorinya cukup besar mencapai sepertiga dari AKG. Selanjutnya makan berat baru dilakukan di jam 10 pagi setelah berkerja di ladang.
Pola konsumsi tersebut memiliki dampak baik dan buruk bagi kesehatan. Dampak baik berasal dari makanan pokok berupa nasi jagung. Nasi dimasak dengan mencampurkan beras dengan jagung tumbuk. Tentunya ini menambah komposisi nutrisi dari nasi. Jenis karbohidrat menjadi lebih beragam dan memiliki indeks glikemik yang lebih rendah. Walaupun memerlukan penelitian lebih lanjut namun hipotesisnya adalah pola konsumsi seperti ini dapat mencegah sindrom metabolik sebagai penyebab diabetes dan penyakit degeneratif lainnya.
Dampak buruk dari pola konsumsi mereka adalah tingginya purin yang didapat dari kopi, kacang goreng, serta sayuran seperti daun pepaya, daun singkong dan daun labu waluh. Kadar purin lebih tinggi pada pucuk daun tersebut yang sering dikonsumsi.
Bapak RK menceritakan bahwa dia sedang menderita sakit asam urat. Penyakit tersebut dia ketahui saat memeriksakan diri ke Puskesmas bulan lalu. Di Puskesmas, selain diberi obat, dia juga diberi penjelasan tentang makanan yang harus dia hindari. Saat ditanya mengapa tidak melakuakn check up lagi dia hanya tertunduk diam. Rupanya ongkos ojek 20 ribu setiap ke Puskesmas terasa memberatkan, walaupun untuk biaya pengobatan sudah digratiskan dari Jamkesda.
Pola pencarian pelayanan kesehatan warga kampung masih mengutamakan pengobatatan non konvensional. Untuk persalinan, mereka lebih memilih toptundra atau dukun yang membantu persalinan. Bila kasusnya berat baru mereka akan memilih pelayanan konvensional dari bidan atau Puskesmas. Tak jarang ibu harus segera dilarikan ke Rumah Sakit di Weetebula.
Untuk penyakit umum sebenarnya mereka memilih pelayanan kesehatan konvensional sebagai pilihan pertama. Namun jika terasa penyembuhannya lama maka mereka menganggap penyakit tersebut termasuk berat sehingga mereka akan mencari tootuli untuk berobat. Mereka mengatakan penyebabnya adalah angin jahat atau ganpring yang dikirimkan orang yang merasa iri. Rasa iri bisa timbul karena keluarga memiliki anak yang sehat atau cantik, ternak yang banyak, ataupun kelebihan-kelebihan lainnya. Kegiatan Posyandu yang berfungsi untuk growth monitoring juga jarang diikuti.
Sebagai perbandingan, saya mengunjungi kampung adat tarung di Kabupaten Sumba Barat. Kampung ini berada di tengah Kota Waikabubak yang merupakan ibukota Kabupaten Sumba barat. Sekalipun berada di tengah kota namun pola kehidupannya masih kental dengan suasana adat yang mistis. Kuburan batu besar di tengah kampung, atap yang tinggi menjulang, rumah dengan ukiran-ukiran dan tengkorak kerbau lengkap dengan tanduknya menghiasi seluruh rumah. Pola konsumsi juga masih mengandalkan hasil pertanian dari produksi sendiri. Itulah sebabnya jika kita berkunjung ke Kota Waikabubak, sawah-sawah terhampar luas di tengah kota.
Sekalipun masih ada kepercayaan adanya angin jahat sebagai penyabab penyakit namun pilihan pengobatan mereka sudah diutamakan ke pelayanan kesehatan konvensional yang dekat dari kampung. Namun masalah ekonomi masih berhubungan dengan kesehatan di Kampung ini. Nona WLP seorang warga kampung yang tahun lalu memperoleh gelar sarjana Kebidanan di salah satu perguruan tinggi di pulau jawa dalam skripsinya meneliti adanya hubungan antara pendapatan orang tua serta status gizi orang tua (IMT) terhadap kejadian stunting pada balita di kampung adat ini.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kekayaan berupa alam yang indah dan subur sebenarnya dapat meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat yang dapat berpengaruh pada pola health seeking behavior masyarakat. Namun sampai saat ini hal tersebut belum terwujud. Potensi wisata tersebut harus disadari agar dapat ditangkap manfaatnya oleh masyarakat. Saat saya berada di Kampung Adat Retanggaro di Kodi maupun Kampung Adat Tarung di Kota Waikabubak, saya melihat beberapa wisatawan lokal yang datang hanya untuk mengabadikan kedatangannya dalam gambar kemudian buru-buru pergi. Sejumlah warga berusaha menawarkan kain dan dunga alat musik tradisional Kodi kepada mereka. Namun tidak dibeli. Bapak RK di Kodi maupun bapak L di Tarung menceritakan bahwa sedikit wisatawan yang berminat pada kain mereka. Lain halnya dengan wisatawan asing. Bapak RK mengisahkan bahwa sering wisatawan asing minta untuk menginap di rumahnya.
Gambar 5. Dunga, Alat Musik Tradisional Orang Kodi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Tentunya harus diupayakan agar wisatawan bisa lebih betah tinggal di kampung adat dan bukan hanya datang sebentar, berfoto dan buru-buru pergi. Masalah keamanan, kebersihan, dan kemampuan komunikasi masyarakat harus ditingkatkan. Masyarakat harus disadarkan tentang kekayaan mereka yang tidak ternilai. Keramahtamahan harus dibangun dan menjadi budaya. Kebersihan lingkungan dan higyene perorangan juga harus diperbaiki. Selanjutnya kemampuan berkomunikasi. Tentunya harus bertahap dari kemampuan berbahasa Indonesia kemudian berlanjut ke bahasa asing.
Tidak perlu dibayangkan bahwa kemajuan pariwisata dinilai dari banyaknya hotel dan restoran mewah sebagai indikatornya. Malah hal tersebut dapat merusak rona lingkungan dan tatanan hidup kampung adat sebagai daya tarik utama. Hotel Nihiwatu di Pantai Wanukaka yang tidak terlalu jauh dari Kodi tidak terduga telah menjadi hotel terbaik di Asia dengan bangunan yang menyerupai perkampungan adat Sumba. Hotel tersebut dimiliki Warga Negara asing dengan tarif menginap paling rendah 500 dolar semalam.
Selama beberapa hari menginap di hotel Sumba Sejahtera di Weetebula, banyak saya temui warga Negara asing baik dari Eropa, Cina atau India yang dari percakapan mereka saya ketahui tujuan mereka untuk membeli tanah. Menurut informasi dari mahasiswa asal Kodi, telah banyak tanah dibeli oleh warga Negara asing dengan menggunakan nama warga Negara Indonesia entah itu warga lokal, Bima atau Bali. Jangan sampai Kabupaten SBD menjadi seperti Pulau Bali di mana sebagian property dimiliki oleh asing. Bali masih bertahan karena masih menjaga budaya dan masyarakatnya cepat beradaptasi dengan mengembangkan kemampuan SDM di bidang pariwisata. Bagaimanakah dengan Kodi?
Salam #inspiringSKM