“Menembus Batas Tirai Hitam: Catatan Perjalanan ke Aceh Barat Daya” oleh Siti Rahmawati, S.KM

Mei 6, 2016

Abdya, April 2016

Siapa yang tak kenal dengan Aceh? Sebuah provinsi yang terletak di bagian paling barat Indonesia. Dengan ikon barunya yaitu Tugu Kilometer 0 Indonesia yang kerap kali muncul saat adzan berkumandang di salah satu stasiun televisi swasta. Ikon lain yang paling terkenal adalah Masjid Baiturrahman yang masih berdiri megah meski telah tersapu tsunami sebelas tahun silam.

Sebelum saya menginjakkan kaki saya di Aceh, terdengar kabar bahwa Pulau Mentawai mengalami gempa bumi berkekuatan 8,2 SR. Gempa ini dirasakan juga di beberapa kota di Pulau Sumatera, dan salah satunya adalah Aceh. Sempat ada rasa khawatir akan adanya peristiwa yang pernah terjadi sebelas tahun silam. Karena informasi awal menyebutkan bahwa berpotensi tsunami. Namun tidak lama kemudian dari pihak BMKG Indonesia segera meralat informasi tersebut, bahwasanya tidak berpotensi terjadi tsunami.

Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Aceh Barat Daya pada Provinsi Aceh Sumber: Peta Wikipedia

Gambar 1. Peta dan Posisi Kabupaten Aceh Barat Daya pada Provinsi Aceh
Sumber: Peta Wikipedia

Aceh memiliki luas 61.237 Km2 dengan pembagian wilayah menjadi 18 Kabupaten dan 5 kota yang terdiri dari 289 kecamatan dan 6.552 desa/gampong. Sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara, dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Provinsi Aceh memiliki kepadatan penduduk belum merata. Ada tiga kota yang memiliki penduduk terpadat, yaitu Banda Aceh, Lhokseumawe dan Kota Langsar.

Selasa, 5 April 2016, saya dan dua rekan saya memutuskan untuk berangkat ke Aceh. Saya mengenakan pakaian yang dipersyaratkan untuk masuk kota ini. Perjalanan tidak semulus yang diperkirakan. Saat pesawat menuju Batam, terdapat guncangan cukup keras, terasa layaknya naik roller coaster di ketinggian lebih dari 4000 mdpl. Para penumpang sempat kaget, syok, orang yang duduk di sebelah saya berpegang pada sandaran kepala kursi penumpang di depannya. Kala itu cuaca memang sedang berawan dan kurang bersahabat.

Setiba di bandara, mata saya mencoba mengenali seorang yang saya tunggu sebelum sampai di Aceh, sopir penginapan yang akan mengantar ke penginapan. Setelah menunggu beberapa menit, muncul pak sopir dan bergegaslah kami meninggalkan bandara. Tidak jauh dari bandara, kurang lebih satu kilometer terdapat Tugu Doa Musafir yang apik menjulang sekitar tiga meter di persimpangan jalan.

Gambar 2. Tugu Doa Musafir Sumber: Erwin Agency

Gambar 2. Tugu Doa Musafir
Sumber: Erwin Agency

Sepanjang perjalanan saya melihat berbagai aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat dan bangunan-bangunan yang berdiri kokoh di sisi kiri maupun kanan. Saya menyimpan rasa kagum pada mereka yang telah bangkit dari peristiwa bersejarah yang terjadi dalam delapan puluh tahun terakhir (re: tsunami). Seolah ‘lupa sejenak’ akan peristiwa tersebut. Decak kagum saya bertambah ketika melihat langsung Masjid Baiturrahman masih berdiri megah tanpa ada kerusakan, di antara bangunan-bangunan hasil renovasi. Hanya halaman masjid saja dalam tahap renovasi sekarang.

Rehat sejenak dari aktifitas, saya pergi ke Pantai Lampuuk sambil menunggu sunset. Letaknya cukup jauh dari pusat kota. Lama perjalanan yang ditempuh sekitar satu jam, namun keindahan pantainya cukup membayar lelahnya perjalanan.

Gambar 2. Masjid Baiturrahman Sumber: Agung Dwi Laksono

Gambar 2. Masjid Baiturrahman
Sumber: Agung Dwi Laksono

Gambar 3. Pantai Lampuuk Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3. Pantai Lampuuk
Sumber: Dokumentasi Peneliti

 

 

 

 

 

 

Hamparan pasir putih bak tepung roti dengan perpaduan air laut yang berwarna toska dan biru tua, dengan dikelilingi perbukitan hijau sungguh sempurna ciptaan-Nya. Namun lagi-lagi teringat akan ‘tirai hitam’ (tsunami) yang tiba menyapu daratan Banda Aceh, Meulaboh dan daerah sekitarnya. Terbayang seberapa tinggi ombak saat itu yang dalam waktu sekejap naik dan menyapu daratan.

 

Abdya Si Tanah “Racun”

Perjalanan dari Banda Aceh, saya lanjutkan ke Kabupaten Aceh Barat Daya atau dikenal dengan nama Abdya. Jalur udara saya pilih menuju tempat ini. Pesawat berkapasitas 11 penumpang mengantarkan saya menuju lokasi. Hanya dengan waktu tempuh satu jam, sudah tiba di Bandara Kuala Batu. Sebelum mendarat, saya disuguhi pemandangan yang luar biasa. Kompilasi antara hijau pepohonan (sawit) dengan hamparan pasir putih dan air laut yang membentang luas seolah berbisik, “Selamat Datang di Abdya”.

Untuk mencapai Abdya, kita dapat menggunakan perjalanan darat yang memakan waktu 8 jam dari Banda Aceh dan 10 jam menuju Medan. Biasanya jasa transportasi yang digunakan masyarakat adalah travel. Jika ingin menuju Medan bisa menggunakan jasa travel atau bus dengan biaya pada kisaran Rp. 120.000,-. Sedang bila menggunakan jalur udara hanya memakan waktu sekitar 45 menit. Angkutan umum di Abdya hanya dapat ditemui pada lokasi-lokasi tertentu saja, dan biasa ngetem di mana saja tapi tidak jauh dari terminal.

Gambar 4. Suasana pagi hari di Abdya Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 4. Suasana pagi hari di Abdya
Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berdasarkan Data Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang dilansir Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, Abdya menempati urutan 412 dari 497 kabupaten/kota se-Indonesia. Beberapa indikator yang perlu diperhatikan adalah kesehatan reproduksi (0,364), perilaku kesehatan (0,277), penyakit menular (0,794), dan kesehatan lingkungan (0,240). Indikator-indikator ini memang belum menunjukkan apa penyebabnya? Apakah faktor budaya atau memang ada faktor lain yang turut berkontribusi?

Informasi tentang beberapa masalah kesehatan kami coba dapatkan dari Dinas Kesehatan setempat. Kematian neonatus dan bayi yang tinggi, ritual paska nifas, dan beberapa kasus penyakit kami dapatkan sebagai informasi awal yang cukup berharga untuk riset kami kali ini, tentang etnorafi kesehatan.

Kehadiran si ‘malaikat’ (bayi) adalah momen yang paling ditunggu oleh sepasang suami istri di Abdya. Seiring perjalanan si ‘malaikat’ ke dunia juga tidak selalu lancar. Kenyataan ini ditemukan pada kematian neonatus dengan jumlah yang cukup besar, 26 bayi yang dinyatakan lahir mati menyusul kematian bayi yang lahir hidup sebesar 43 bayi. Berbagai faktor tentunya turut berpengaruh pada kejadian tersebut yang perlu ditelusuri lebih lanjut.

Di sisi lain kami mendapatkan informasi mengenai masih adanya tradisi perlakuan pada ibu nifas yang masih eksis di masyarakat. Perlakuan ini menggunakan batu yang dipanaskan dengan api, lalu batu itu ditempelkan pada perut bagian bawah dan bagian punggung pada ibu nifas. Perlakuan ini bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan darah nifas, dan masih dipake hingga saat ini.

Informasi lain adalah isu mengenai penyebab suatu penyakit versi masyarakat (emik), misal penyakit TBC dan kusta. Menurut masyarakat, penyakit tersebut disebabkan oleh tanah mereka, karena tanah adalah tanah ‘racun’, akibatnya (menurut masyarakat setempat) menjadikan mereka mudah sakit. Sehingga apabila ada orang yang sakit, maka dianggapnya sebagai penyakit kutukan, juga penyakit keturunan. Informasi tidak berhenti sampai di sini, isu santet dan penyakit kiriman pun masih dipercayai oleh masyarakat setempat. Tak jarang dalam proses pengobatannya pun masih menggunakan orang pintar (dukun).

Kasus lain yang pernah terjadi adalah ketika seorang tenaga kesehatan melempar spidol yang sebelumnya dipegang oleh seorang penderita kusta yang dinyatakan sembuh ketika sedang melakukan penyuluhan di suatu tempat. Sikap salah kaprah yang ditunjukkan oleh tenaga kesehatan, karena berfikir akan tertular. Sebuah sikap yang tidak menunjukkan latar belakang pendidikannya yang seharusnya bisa menjadi contoh bagi masyarakat awam.

“Mulai dari pemeriksaan kehamilan sampai persalinan si bumil dilarang menggunakan jasa dokter laki-laki.” Saya sempat terhentak mendengar kalimat tersebut dikeluarkan oleh staf Dinas Kesehatan Abdya. Yaa… wacana tersebut sedang hangat-hangatnya didiskusikan oleh pemerintah daerah, dan rencananya akan dibuatkan Perda untuk mengesahkan wacana tersebut. Namun pelaksanaannya belum dapat dipastikan karena masih digodog dan ibu hamil masih bisa periksa ke dokter manapun.

Masih dalam suasana pagi, kopi khas Aceh mengiringi potret Abdya versi para staf Kesbangpollinmas Abdya. Berbagai informasi saya dapatkan dan tentunya tidak terasa kami mulai akrab dan canda tawa pun tak terelakan. Sebuah rumah sakit berdiri kokoh tidak jauh dari Kesbangpollinmas yang jaraknya sekitar satu kilometer. Rumah sakit ini merupakan bantuan dari Pemerintah Korea Selatan yang dibangun pasca tsunami.

 

*Siti Rahmawati, S.KM (Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© PERSAKMI All rights Reserved