“Sebagai Seorang SKM, Inilah Penghargaan Terbesar Yang Pernah Saya Dapatkan” oleh Nurmalasari, S.KM
Mei 6, 2016
“Sebagai Seorang SKM, inilah penghargaan terbesar yang pernah saya dapatkan”, mungkin barangkali itulah yang saya rasakan saat ini.
Dulu, saya adalah sosok yang gila prestasi. Prestasi yang diukur dengan banyaknya sertifikat juga piala. Hal itu menjadi wajar, karena saya adalah salah satu mahasiswa yang bisa mengenyam bangku kuliah karena beasiswa BIDIKMISI. Jadi, sudah seharusnya tidak hanya belajar saja selama kuliah, namun harus memberikan lebih, yaitu dalam bentuk prestasi. Itulah yang termaktub dalam ikrar semenjak nama saya tercantum sebagai penerima BIDIKMISI tahun 2010.
Prestasi terbesar yang “mungkin” sukses membuat saya menjadi salah satu “artis” di kampus, tepatnya di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga adalah ketika saya menjadi Mahasiswa Berprestasi untuk prestasi tingkat nasional karena sering memenangkan berbagai Perlombaan Karya Tulis Ilmiah. Tidak hanya itu, di akhir masa menjadi mahasiswa, saya mendapatkan dua prestasi yang “tak kalah bergengsinya” yaitu dinobatkan sebagai Wisudawan Berprestasi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan menjadi seorang Pencerah Nusantara, Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDGs.
Namun, saya merasa ada sesuatu yang belum terlengkapi dalam tumpukan puzzle “kegilaan” seorang Nurmalasari pada prestasi-prestasi itu. Sesuatu yang bernamakan kepuasan batin. Siapa sih yang tidak bangga dipuji-puji karena prestasinya? Tapi apakah benar pujian itulah yang saya inginkan selama ini? Apakah benar pujian itu sebagai indikator keberhasilan sebagai Mahasiswa Penerima Beasiswa dari Uang Rakyat?
Hingga akhirnya ada sebuah tanya yang begitu besar dalam diri saya, “Dengan semua prestasi itu, apakah saya dapat bermanfaat untuk masyarakat sebagai seorang SKM? Terlebih kepada mereka yang telah memberikan saya kesempatan untuk bisa belajar di perguruan tinggi? Apakah prestasi itu hanya tameng untuk menutupi bahwa sebenarnya diri ini sebagai seorang SKM tidak bermanfaat sama sekali untuk masyarakat”.
Semua pertanyaan itu terus menerus bergulat dalam benak dan pikiran saya hingga saat saya harus benar-benar mengabdikan ilmu sebagai seorang SKM di Kepulauan Mentawai, salah satu daerah paling barat Indonesia dengan akses pelayanan kesehatan yang begitu sulit tak terjangkau.
Jika ada yang bertanya, menjualkah sebenarnya prestasi-prestasi itu di hadapan masyarakat Mentawai? Apakah semua pencapaian selama kuliah tersebut cukup mampu menggerakkan masyarakat Mentawai?
Jawabannya TIDAK.
Dari situ saya mulai belajar untuk melepaskan semua pernak pernik prestasi yang sangat saya banggakan kala itu, yang sangat menjual di kalangan interviewer job seeker. Saya mulai belajar dari nol menjadi seorang SKM yang memang benar-benar mengabdi dengan seluruh pengorbanan dan cinta tanpa batas untuk menjawab jeritan tangis Masyarakat Mentawai yang tak mencicipi apa itu hidup sehat.
Jangan berfikiran itu mulus. Jungkir balik saya lakukan diwarnai dengan tangisan.
Mulai dari tantangan di dalam tim itu sendiri. Di dalam tim terdapat berbagai profesi seperti Dokter, Perawat, Bidan, Ahli Gizi, dan saya sendiri seorang SKM. 1 bulan disana saya mengalami yang namanya “degradasi jati diri sebagai seorang SKM”. Kenapa? Jelas saja. Apa sih yang saya bisa lakukan? Penyuluhan? Promotif Preventif yang selalu digembar-gemborkan akan menjadi ujung tombak peningkatan kesehatan masyarakat. Kalau semua keterampilan itu juga dimiliki oleh tenaga medis dan paramedis. Lalu saya, SKM?
Itulah yang selalu saya pikirkan sejak awal. Bukan membuat saya terlihat sebagai seorang SKM, justru membuat saya tidak ada bedanya dengan anak yang masih SMA. Yang tidak memiliki kemampuan apa-apa.
Hingga akhirnya ketika saya menerima “amanah” sebagai Ketua Tim, yang dituntut untuk dapat memetakan kemampuan setiap anggotanya, sedikit pencerahan mulai nampak. Dokter, akan sangat ahli dalam hal medis. Itu sangat jelas. Untuk pengetahuan tentang manajemen puskesmas, mungkin lebih banyak saya sebagai seorang SKM karena hampir selama 4-6 semester saya mempelajari tentang manajemen terutama manajemen puskesmas. Perawat, hampir sama dengan medis, meskipun terdapat materi tentang perawat komunitas, promosi kesehatan pasti juga sangat paham, namun apakah juga mendapatkan pengetahuan yang lebih terkait kesehatan lingkungan? Epidemiologi? Biostatistik? Sistem Informasi Kesehatan? Begitu juga dengan Bidan. Bidan akan menjadi sangat ahli dalam hal kesehatan ibu dan anak, itu sangat saya akui. Sedangkan ahli gizi akan sangat ahli dalam gizi. Dari itu semua, saya menangkap bahwa kelebihan SKM yang notabene bergerak dalam Social Science adalah selain kesehatan, dia juga menguasai ilmu social semacam ethnografi. Kemampuan dalam hal melihat peluang untuk menjalankan prinsip “All for Health” atau semua untuk kesehatan. Bahwa semua yang ada di masyarakat sangat bisa untuk mendukung kesehatan.
Pemikiran seperti itulah yang akhirnya sedikit memotivasi saya, hingga saya bisa mengembalikan jati diri saya sebagai seorang SKM. Lalu, apakah ini sudah selesai? Sudah cukup mampukah saya diterima dan menjalan peran sesungguhnya sebagai SKM?
Jawabannya BELUM.
Setelah melihat dan menganalisis itu semua. Saya kemudian membagi tanggung jawab di dalam tim, dimana Dokter, Perawat, Bidan selain bertanggung jawab penuh dalam hal medis, mereka juga harus memegang manajemen puskesmas, UKBM, kesehatan ibu dan anak. Sedangkan yang Ahli Gizi selain fokus di Gizi juga memegang epidemiologi. Dan saya sendiri dipercaya kesehatan lingkungan, kesehatan remaja, survey kesehatan masyarakat, diseminasi informasi baik internal dan eksternal.
Presentasi dan diskusi bersama perangkat desa
Saya pun mulai bersemangat menjalankan peran itu semua. Namun, tak semudah seperti yang saya pikirkan. Ketika saya mulai masuk ke Puskesmas banyak hal yang tidak sesuai dengan logika dan ekspektasi saya. Banyak hal yang seharusnya A tapi menjadi B di puskesmas. Ketika diri ini terdorong untuk merubahnya, semuanya terbentur pada satu hal, Siapa kamu? Baru lulus kemarin saja sudah sok. Tak semudah itu, merubah kebiasaan, walaupun kita tahu itu kurang benar. Tak semudah itu juga membuat pemikiran-pemikiran kita sebagai seorang yang bisa disebut “newbie” dapat dengan mudah diterima.
Geregetan, iya. Frustasi, jelas.
Namun, jika saya menyerah sekarang, lalu buat apa saya sebagai seorang SKM dipercaya menjadi seorang Utusan Khusus Presiden untuk MDGs, seorang Pencerah Nusantara yang seharusnya mampu menjadi pencerah, mengembalikan fungsi puskesmas menjadi yang sebenarnya.
Dari situ, saya mulai menempatkan diri sebagai seorang murid lagi, yang berguru kepada Dosen Ilmu Praktis di Lapangan, ya saya memang harus berguru kepada senior-senuor di puskesmas, menundukkan kepala yang seakan susah ditundukkan hanya karena merasa lebih tahu dari mereka secara teori. Awalnya memang saya menempatkan diri sebagai murid sebagai trik agar bisa masuk ke puskesmas, namun lama kelamaan memang saya merasa saya tahu apa sih? Mentang-mentang kuliah di kampus super terkenal saya terus merasa tahu semua begitu? Dan bahwa belajar itu harus dimanapun dan kapanpun.
Saya menikmati waktu belajar tersebut. Awalnya, perasaan diremehkan ada, namun ketika ilmu yang saya dapatkan dari mereka dan saya kombinasikan dengan ilmu-ilmu inovatis yang saya dapatkan di kampus, saat itulah saya menemukan poin plusnya. Hal-hal yang menjadi masalah bagi mereka, saya coba memberikan pendapat-pendapat. Celah itu saya temukan. Hingga akhirnya saya dan tim puskesmas menyatu, menjadi harmonis, bekerja bersama, bekerja inovatis untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Sudahkah berhasil?
Tidak.
Tidak sedikit saya diremehkan ketika harus berhadapan dengan para stakeholder setingkat kecamatan, kabupaten. Saya yang masih baru lulus, belum ada pengalaman, harus presentasi di hadapan stakeholder, memberi masukan inovasi-inovasi untuk program kesehatan. Memang benar awalnya, dipandang sebelah mata, namun saya berfikir bahwa tidak peduli tua ataupun muda, asalkan sama-sama memikirkan kesehatan, peduli pada kesehatan dan mau berbuat untuk kesehatan, itu sah-sah saja. Saya pun bersama tim saya mempresentasikan program-program kami. Jangan berfikir presentasi sekedar presentasi. Amunisi pun kami siapkan, melalui pengkajian komprehensif selama lebih dari satu bulan lebih. Karena kami tidak mau dianggap sebagai anak-anak muda yang mampu mengkritik, tapi tanpa dasar yang jelas, bahkan tidak ada solusi.
Akhirnya, saya dan teman-teman memiliki tempat di level stakeholder. Pelajaran yang dapat diambil disini adalah bagaimana kita bisa mengadvokasikan sesuatu dengan dasar yang jelas dan usulan solusi yang harusnya sesuai dengan permasalahan, tentunya disesuaikan dengan kebijakan yang ada.
Memfasilitasi diskusi bersama ibu – ibu Kader Kesehatan
Di masyarakat pun, saya belajar bagaimana mempromosikan kesehatan tidak hanya sebagai orang yang paling tahu kesehatan secara teori maupun praktikal, tapi orang yang harus mampu melihat bahwa sebenarnya pahlawan kesehatan itu adalah masyarakat sendiri, bukanlah kita orang kesehatan.
Bagaimana belajar bersama bukan menggurui. Bagaimana memanfaatkan dengan bijak kebudayaan-kebudayaan yang ada untuk meningkatkan kesehatan. Bagaimana agar masyarakat merasa semua program kesehatan adalah milik bersama bukan hanya milik puskesmas. Bagaimana agar masyarakat merasa bahwa mereka memiliki peran penting dalam upaya mewujudkan kesehatan bagi masyarakat. Bukan cuma dokter, bidan, perawat yang hanya bisa menyelamatkan kesehatan mereka dari kesakitan, tapi mereka sendirilah yang paling mampu untuk itu.
Hingga akhirnya tawa canda tangis mewarnai itu semua. Dambaan menjadi SKM, Sarjana Kesehatan Masyarakat, yang benar-benar dekat dengan masyarakat sedikit mulai terasakan, meski belum seutuhnya.
Pilu keringat dan air mata tangisan seakan terbayarkan saat membaca tulisan dalam sebuah kaos yang diberikan oleh mereka yang dari Mentawai. Mereka yang selalu bekerja bersama-sama dengan kami untuk menyehatkan masyarakat.
“Kamu boleh hilang dari pandangan kami, tapi baktimu untuk Mentawai tak akan pernah hilang dari ingatan kami”
Itulah ungkapan hati dari mereka yang terukir indah dalam kaos yang begitu sangat berharga.
Tak terasa isak tangis pun mewarnai momen saat saya memakai kaos itu.
Inilah jawaban dari kehampaan hati yang selama ini saya rasakan. Kehampaan hati karena bayang-bayang prestasi yang mengaburkan kebermanfaatan diri. Benarkah saya sudah bermanfaat untuk masyarakat sebagai seorang SKM?
Kalaupun belum sepenuhnya menjadi SKM yang benar-benar dekat dengan masyarakat, tetapi kata-kata itu sudah cukup menjadi prestasi dan penghargaan terbesar dalam hidup saya sebagai seorang SKM.
Terima kasih Pencerah Nusantara karena telah memberikan jalan untuk saya bisa belajar menjadi seorang SKM yang sesungguhnya.