Menakar Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), Kedepan Berparadigma Sehat atau Sakit?

Juli 16, 2016

[Pontianak Post, 2 Juli 2016] 

​SUDAH bukan hal yang baru jika pembangunan kesehatan dengan paradigma sehat menjadi sebuah kebutuhan dasar dan pokok yang harus terpenuhi oleh setiap manusia selain kebutuhan pendidikan dan ekonomi. Kebutuhan itu bahkan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi pihak swasta, individu atau masyarakat. Sudah banyak regulasi dan kebijakan yang secara tegas menyatakan kesehatan merupakan agenda wajib pemerintah bersama masyarakat bahkan sampai ke level terendah dalam pemerintahan. Sehingga pembangunan kesehatan menjadi sebuah hal yang cukup “seksi” untuk dijadikan bahan “mainan” baik bagi pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Salah satu indikator kesehatan yang cukup “seksi” & bisa menjadi bahan “mainan” itu adalah IPKM (Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat). Setidaknya ada 30 indikator IPKM 2013 yang sebelumnya IPKM 2007 hanya 24 indikator yang digunakan dengan nilai pembobotan tiga kategori perlu, empat kategori penting dan lima kategori mutlak. Jika tahun 2007 ada delapan indikator dengan kategori perlu, lima kategori penting dan 11 kategori mutlak maka 2013 IPKM memiliki tujuh indikator kategori perlu, 13 kategori penting dan 10 kategori mutlak. Sehingga ada pengurangan 1 indikator kategori perlu, penambahan 8 kategori penting dan pengurangan 1 kategori mutlak. Indikator IPKM tersebut terbagi dalam lima jenis kelompok yaitu kelompok balita ada 6 indikator, kesehatan reproduksi 3 indikator, pelayanan kesehatan 5 indikator dan perilaku kesehatan 5 indikator, penyakit tidak menular 6 indikator penyakit menular 3 indikator, dan terakhir kesehatan lingkungan dua indikator.
Khusus untuk hasil IPKM wilayah Kalimantan Barat terakhir, semua Kabupaten/Kota mengalami kenaikan skor. Ada 5 dari 12 Kabupaten/yang mengalami penurunan peringkat IPKM secara nasional dibandingkan periode sebelumnya. Lima Kabupaten tersbut adalah Sambas, Pontianak, Sanggau, Sintang dan Sekadau. Sedangkan yang memiliki skor tertinggi dan peringkat terbaik IPKM 2013 adalah Kabupaten Landak. Skor dan peringkat tersebut tentu bukanlah jaminan bahwa kesehatan masyarakat akan semakin membaik jika pemerintah daerah tidak memiliki inovasi dalam pembangunan kesehatan masyarakat yang berparadigma sehat.  
Jika kita Ingat konsep paradigma sehat yang artinya lebih mementingkan upaya menjaga atau memeliharan kesehatan, meningkatkan derajat kesehatan dengan melayani kesehatan masyarakat supaya tidak jatuh sakit seakan masih jauh dari harapan. Hal itu tercermin dari beberapa kebijakan dan indikator kesehatan masyarakat yang telah ditetapkan pemerintah saat ini. Ketika diskusi langsung bersama penggagas paradigma sehat prof.Does Sampoerno, September 2015 di Jakarta lalu sebelum beliau wafat, secara umum beliau menilai “Indonesia belum memperlihatkan sebuah wujud nyata paradigma sehat, meskipun wacana yang digaungkan adalah paradigma sehat tetapi implementasinya masih cenderung berparadigma sakit atau lebih fokus kepada pelayanan kelompok yang sakit dari pada kelompok yang sehat”.
Sudah selayaknya penilaian dari sang penggagas kebijakan Indonesia Sehat atau paradigma sehat ini menjadi perhatian semua pihak, baik pemerintah, masyarakat terlebih Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) yang juga Prof.Does Sampoerno telah lahirkan di Indonesia untuk menjaga kesehatan masyarakat sebagai seorang tenaga kesehatan masyarakat. Prof.Azrul Azwar dalam bukunya pengantar administrasi kesehatan menyatakan “pelayanan kesehatan masyarakat itu sebaiknya mendapatkan dukungan undang-undang, dijamin dan ditanggung oleh Pemerintah. Pelayanan kesehatan masyarakat itu berbeda dengan pelayanan kedokteran baik pelaksana, sasaran, ranah tugas, tanggung jawab maupun kewenangnya”. 

Sangat disayangkan ketika kita coba melihat indikator IPKM terakhir yaitu 2013 yang sampai saat ini digunakan pemerintah masih menunjukan arah paradigma sakit. Hal itu terlihat dari kelompok indikator pelayanan kesehatan hanya ada dua tenaga kesehatan (dokter dan bidan) dan hanya dokter yang mutlak ada dimasyakat. Artinya pemerintah hanya fokus menyediakan tenaga medis yang kompetensi utamanya untuk mengobati dan memulihkan orang sakit, sedangkan layanan untuk orang sehat menjadi menjadi terabaikan. Sehingga jika pola paradigma sakit diteruskan maka ancaman ledakan angka kesakitan dan kematian kedapan bisa saja terjadi. Seakan terlihat juga dua tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kesehatan yang bisa mengatasi segala permasalahan yang menjadi indikator IPKM 2013 dan pengganti tenaga kesehatan lain meskipun pendidikan dan kompetensinya berbeda. Padahal faktanya setidaknya ada lebih dari 10 jenis tenaga kesehatan dengan pendidikan, keterampilan dan kompetensi masing-masing profesi yang mestinya juga harus dipenuhi sesuai standar minimal tenaga kesehatan baik fasilitas kesehatan maupun secara rasio penduduk. Bisa dikatakan bahwa keberadaan tenaga kesehatan lain selain dokter dan bidan tidak akan berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat yang diukur melalui indikator kelompok pelayanan kesehatan IPKM 2013.
Bukan hanya itu saja beberapa indikator lain juga menunjukan bahwa fokus perhatian berorientasi ke paradigma sakit yaitu pengobatan atau pemulihan, dari pada indikator-indikator yang dapat menjadi faktor resiko berbagai penyakit muncul. Lihat saja indikator kesehatan lingkungan untuk akses sanitasi, air bersih, buang air besar dijamban, cuci tangan, merokok mendapatkan bobot dan kategori paling rendah dibandingkan indikator ketersedian dokter, gizi buruk, hipertensi, dan diabetes. Artinya ketersediaan air bersih, sanitasi, bahkan merokok yang terbukti secara ilmiah menjadi penyebab berbagai penyakit, kalah penting dengan indikator ketersediaan dokter, hipertensi dan gizi buruk. Padahal beberapa indikator yang kalah penting itu justru menjadi faktor resiko atas indikator yg telah mendapatkan nilai dan bobot tertinggi tersebut. Nasi telah menjadi bubur sebagai kita evaluasi yang sudah terlanjur (gizi buruk, kematian ibu, dan kematian akibat penyakit tidak menular) yang semakin subur. Mari kita doakan dan kawal bersama, semoga indikator IPKM kedepan lebih berparadigma sehat.
Berdasarkan analisis IPKM tersebut dapat dikatakan bahwa berdasarkan kacamata akademisi maupun praktisi belum menunjukan sebuah wujud arah paradigma sehat dan belum menunjukan keharmonisan antara isi (indikator) dan sampul yang dikemas dengan nama “Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat”, karena justru yang terlihat bukanlah “Pelayanan Kesehatan Masyarakat” tetapi hanya pelayanan kedokteran dan kebidanan. Semoga opini analisis sederhana ini menjadi sebuah bahan renungan, kajian dan masukan kita bersama terutama penentu kebijakan kesehatan saat ini dan kedepan. Semata-mata bukan untuk mencari kambing hitam tetapi hanya untuk mengupayakan perbaikan derajat kesehatan masyarakat sesuai kebijakan paradigma sehat yang sudah menjadi nyawa pembangunan pemerintahan era Jokowi Kalla saat ini melalui kerangka nawa cita maupun nyawa pembangunanan era pemerintahan kedepan. 
*) Penulis Alumni Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mahasiswa Program Magister Administrasi & Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Dipenogoro Semarang, Anggota Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© PERSAKMI All rights Reserved