Melawan Narasi Ketakutan
Maret 29, 2019
Saat ini berkembang narasi yang menyudutkan Persakmi terkait dengan pelaksanaan UKSKMI dan STR. Pihak tersebut menilai bahwa Persakmi tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung. Sudah diberikan kemudahan dan kemurahan agar SKM diakui sebagai tenaga kesehatan dengan ber-STR. Namun masih saja melakukan protes.
Selain narasi yang menyudutkan Persakmi, berkembang juga narasi yang membuat SKM menjadi gamang dan takut, dengan memunculkan narasi bahwa tanpa STR, maka SKM tidak bisa disebut tenaga kesehatan. Bila SKM tidak diakui sebagai tenaga kesehatan, maka kesempatan bekerja di sektor kesehatan menjadi terbatas.
Tulisan singkat ini, mencoba untuk melawan narasi yang di luar akal sehat tersebut. Sengaja kami mengutip kalimat ini “Hidup adalah memilih, kalau ada yg lebih murah dan mudah, kenapa harus memilih yang lebih mahal dan sulit ??”. Sejatinya, Persakmi dari awal sudah memilih jalur kemudahan. Pingin tahu buktinya ??
Dirjen Belmawa melalui suratnya sudah menegaskan bahwa UKSKMI yang saat ini dijalankan oleh AIPTKMI dan IAKMI, tidak dapat menggunakan dasar hukum UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Permenristekdikti No 12/2016 tentang Tata Cara Uji Kompetensi Mahasiswa bidang Kesehatan yang mengatur bahwa uji kompetensi secara nasional dilakukan oleh mahasiswa pada akhir pendidikan vokasi dan profesi
Untuk itu, Persakmi telah menegaskan 2 hal :
*Pertama* ; Persakmi minta kepada AIPTKMI secara resmi agar pelaksanaan UKSKMI/UKAKMI segera dihentikan sampai dengan syarat peserta uji kompetensi telah memenuhi regulasi UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan (pasal 21 ayat 1), dan Permenristekdikti No 12/2016 tentang Tata Cara Uji Kompetensi Mahasiswa bidang Kesehatan (pasal 4 ayat 3).
UKSKMI yang tanpa dasar hukum telah memungut biaya Rp 500.000,- per peserta, yang notabenenya adalah para mahasiswa dan fresh graduate, yang belum mempunyai penghasilan sendiri. Nilai 500 ribu tidak murah bagi mereka, dan juga tidak mudah untuk mendapatkannya. Kalau tidak lulus ukom, peserta berstatus sebagai retaker yang wajib mengikuti ukom kembali dengan membayar uang lagi (Rp 150.000,-), bila mereka ingin mendapatkan sertifikat.
*Kedua* ; Persakmi juga secara resmi meminta kepada Badan PPSDM Kesehatan mencabut syarat sertifikasi uji kompetensi dan sumpah profesi dalam pemberkasan STR bagi Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Hal ini tentu saja memungkinkan, karena kebijakan sebelumnya terkait STR SKM sempat diberlakukan *inpassing (masa penyesuaian)* tanpa sertifikat kompetensi. Mengapa kebijakan inpassing (masa penyesuaian) tersebut dapat diberlakukan? Jawabannya karena memang SKM belum ada kewajiban untuk mengikuti uji kompetensi, karena SKM adalah output pendidikan akademik.
Kapan kebijakan inpassing (masa penyesuain) itu diakhiri? Jawabannya sederhana, sampai dengan syarat peserta uji kompetensi telah memenuhi regulasi UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan (pasal 21 ayat 1), dan Permenristekdikti No 12/2016 tentang Tata Cara Uji Kompetensi Mahasiswa bidang Kesehatan (pasal 4 ayat 3). Dan yang terpenting, sampai dengan hadirnya Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Tenaga Kesehatan Masyarakat sebagai regulasi induk yang mengatur penyelenggaraan tenaga SKM.
Murah dan mudah kan??