MENYEMAI HARAPAN DI SARMI Catatan Perjalanan ke Distrik Bonggo Timur, Kabupaten Sarmi, Papua
Juni 2, 2017
Sentani, 1-2 Juni 2017
Perjalanan kali ini termasuk perjalanan yang lumayan pendek untuk sebuah perjalanan yang biasa saya lakukan di Papua. Distrik Bonggo Timur di Kabupaten Sarmi, demikian wilayah yang akan menjadi tujuan kali ini. Berada di pesisir Utara Papua, Distrik Bonggo Timur kami tempuh dengan perjalanan darat menyusuri jalur Utara selama sekitar empat jam dari Jayapura.
Gambar 1. Jalur menuju Kabupaten Sarmi
(Hasil Olahan Penulis, Juni 2017)
Menyusuri jalur ini memang lebih terasa mudah dibanding jalur darat menuju Pegunungan Tengah dari Wamena. Jalanan lebih terlihat mulus sepanjang hampir 200 km. Hanya saja Avanza yang kami tumpangi tidak bisa berlari kencang terlalu lama, karena kemulusan jalur ini terganggu setidaknya oleh hampir lima puluhan jembatan yang hampir semuanya tidak ‘mulus’. Rata-rata jembatan kayu yang harus dilalui dengan pelan. Itu pun dapat dipastikan jembatan tersebut disertai dengan jalan yang rusak di sebelum dan sesudahnya.
Menyusuri jalur Utara daratan Papua baru kali ini saya lakukan. Saya sebelumnya lebih terbiasa menjelajah Papua di wilayah Pegunungan Tengah dan wilayah perbatasan dengan Papua Nugini. Perjalanan kali ini saya berkesempatan mendampingi peneliti senior ibu Turniani Laksmiarti untuk supervisi Riset Responsiveness (Ketanggapan) Sistem Pelayanan Kesehatan.
Gambar 2. Akses jalan menuju Bonggo Timur, Kabupaten Sarmi, Papua
(Dokumentasi Penulis, Juni 2017)
Empat jam adalah waktu yang singkat menuju Distrik Bonggo Timur. Salah satu distrik di Sarmi ini masih setengah perjalanan menuju ibukota Sarmi. “Wah… kalau ke Sarmi bisa dua belas jam-an pak!” jelas Joses, driver yang kami sewa. “Alhamdulillaah… cuman sampai di sini…,” batin saya penuh syukur.
Sepanjang perjalanan terlihat hamparan hijau di kiri dan kanan. Tanah-tanah kosong penuh belukar dan pohon sagu mewarnai perjalanan di jalur ini. Selebihnya mendekati wilayah Sarmi udara terasa panas, jauh lebih panas dibanding kota asal saya di Surabaya. Saya perkirakan sekitar 380 celcius. Cukup menyengat.
Catatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Kabupaten Sarmi
Kabupaten Sarmi dalam catatan saya memiliki peringkat 345 dari 497 kabupaten/kota dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) secara nasional yang dilansir berdasar data tahun 2013. Pada posisi tersebut Kabupaten Sarmi menempati ranking 6 dari 29 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua. Secara nasional peringkat ini merosot tajam dibanding dengan indeks pemeringkatan yang sama pada tahun 2007 yang menempatkan Kabupaten Sarmi pada peringkat 198 dari 440 kabupaten/kota yang ada di Indonesia pada tahun tersebut. Indeks pemeringkatan IPKM ini setidaknya telah dipakai oleh Bappenas sebagai salah satu indikator penentuan besaran anggaran untuk daerah dari pemerintah pusat.
Meski menurut saya tidak ada kondisi ekstrem di Kabupaten Sarmi bila kita bandingkan dengan wilayah lain di Papua, tetapi secara umum memang Kabupaten Sarmi kalah cepat pembangunan kesehatannya dibanding wilayah lain di Indonesia, terutama tentang ketersediaan pelayanan bagi masyarakat.
Proporsi kecamatan dengan kecukupan jumlah dokter per penduduk misalnya, Kabupaten Sarmi hanya memiliki proporsi 0,714, jauh di bawah proporsi Provinsi Papua yang memiliki angka 2,05, dan angka nasional dengan proporsi 1,45. Angka proporsi ini merupakan perbandingan angka pada tahun 2013, dengan proporsi kecamatan dengan kecukupan jumlah dokter per penduduk dihitung berdasar standar kecukupan jika dalam 1 kecamatan memiliki minimal 1 dokter per 2.500 penduduk (Kemenkes, 2010).
Tidak berbeda dengan ketersediaan tenaga dokter, proporsi desa dengan kecukupan tenaga bidan per jumlah penduduk juga masih jauh di bawah angka provinsi dan nasional. Kabupaten Sarmi memiliki proporsi bidan sebesar 0,28, sementara Provinsi Papua memiliki proporsi 0,50, dan secara nasional proporsi bidan mencapai angka 1,49. Angka proporsi desa dengan kecukupan tenaga bidan per jumlah penduduk dihitung dengan menggunakan standar kecukupan jika dalam 1 desa memiliki minimal 1 bidan per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2010).
Dalam IPKM 2013, Kabupaten Sarmi justru memiliki catatan cakupan yang cukup bagus dibanding rata-rata provinsi maupun nasional, dalam status gizi balita misalnya. Kabupaten Sarmi memiliki cakupan balita stunting (pendek dan sangat pendek) 29,30%. Angka ini jauh lebih kecil dibanding rata-rata Provinsi Papua yang mencapai 40,08%, maupun rata-rata nasional yang berada pada kisaran 37,21%. Demikian pula dalam catatan cakupan balita gizi buruk-kurang (underweight), Kabupaten Sarmi memiliki cakupan sekitar 11,81%, jauh lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Papua yang berada pada kisaran 21,88%, dan rata-rata nasional sebesar 19,63%.
Fenomena ini bisa dimaklumi mengingat Kabupaten Sarmi memiliki letak geografis yang berada di sepanjang pantai Utara Papua yang tentu saja melimpah dengan sumber protein hewani andalan bu Susi Pudjiastuti, ikan laut. Meski tentu saja kita tidak bisa menafikkan local wisdom masyarakat Sarmi dalam hal pola makan dan kebiasaan konsumsinya. Karena saya justru menemui realitas yang berbeda pada wilayah dengan tipikal geografis yang sama di Kabupaten Probolinggo. Di Probolinggo justru cakupan balita stunting melebihi jumlah rata-rata provinsi maupun nasional.
Meski secara umum status gizi balita di Kabupaten Sarmi lebih baik dibanding rata-rata provinsi maupun nasional, tetapi tetap perlu diwaspadai kondisi lain yang biasa terjadi di wilayah perkotaan, overweight (kegemukan). Prevalensi balita gemuk di Kabupaten Sarmi justru jauh lebih tinggi dari angka provinsi maupun nasional. Kabupaten Sarmi memiliki cakupan prevalensi balita gemuk mencapai 21,34%. Angka ini jauh di atas angka rata-rata Provinsi Papua yang mencapai angka 14,98%, dan angka rata-rata nasional sebesar 11,76%.
Wilayah Transmigrasi SP 4
Menurut Kepala Kampung setempat, wilayah Bonggo Timur yang menjadi lokasi survei kami ini adalah daerah transmigrasi. “Saya datang ke sini sejak tahun 1996 pak. Itu di sini di wilayah SP 1, urut SP 2, 3, 4… sampai 8 di sebelah sana.” Lebih lanjut kepala kampung asli Sunda tersebut menjelaskan bahwa wilayah yang menjadi sasaran survei ada di SP 4.
Di SP 4 hampir secara keseluruhan adalah para pendatang. “Saya sendiri dari Serang pak. Itu ada tetangga dari Jawa, NTB, Kupang… macem-macem lah pak di sini…,” terang Bu Rusdi, istri Ketua RT setempat yang asli Serang, Jawa Barat.
Gambar 3. Rumah transmigran asal Toraja yang berada di akses jalan utama Jayapura-Sarmi
(Dokumentasi Penulis, Juni 2017)
Di sepanjang jalan di wilayah ini menampakkan kehidupan para transmigran yang cukup berhasil. Jajaran bangunan rumah yang cukup luas, beberapa disertai dengan toko kelontong di depan rumahnya, beberapa lainnya dengan mobil di garasi sebelah rumah. “Ini yang ada di sini ini yang bertahan pak, yang lainnya sudah pulang, yang ada di sini yang berani hidup susah dulunya…,” klaim bu Rusdi. Tidak semua transmigran mampu bertahan, ada yang tidak kuasa dengan kerasnya hidup di wilayah yang baru dibuka dan memilih untuk pulang. Mereka yang tersisa di lokasi trans adalah yang survive dan terbukti berhasil. Bekal dari pemerintah untuk hidup setahun pertama berupa beras, minyak, ikan asin, sabun, dan garam, tidak membuat mereka mampu bertahan. Lahan seluas satu hektar yang dibagikan saat pertama tidak membuat mereka untuk bisa bersabar sedikit lebih lama.
Cerita kerasnya hidup yang harus dijalani di daerah bukaan transmigran baru cukup membuat trenyuh,
“Dulu kita datang diundi rumah itu sore pak. Kita cari itu jatah rumah malam-malam, ga keliatan apa-apa, kan masih hutan. Jadi kami lempar batu. Kan atapnya dari seng, kalau terdengar ‘klontang’ gitu… baru kami lihat nomor rumahnya, jatah kami atau bukan? Kalau bukan, kami lempar batu lagi, begitu terus sampai ketemu…”
“Dulu itu jalan ini (akses utama) belum ada pak. Kita masing-masing bikin jalan untuk nyampe depan rumah…”
“…sempat pula kami kehabisan segala sesuatunya. Ibarat kami ini makan hanya nasi dengan garam sudah biasa…”
Ada kebijakan lain dari pemerintah untuk proses asimilasi para pendatang dengan orang lokal. Lokasi penempatan para pendatang (transmigran dari luar Papua) dan transmigran dari lokal (Pulau Papua) dibuat berselang-seling. Saling mengisi. Meski dalam implementasinya proses tersebut tak sepenuhnya berhasil. Para transmigran lokal cukup banyak juga yang tidak mampu bertahan dengan kerasnya daratan tanah kelahirannya.
Rata-rata para transmigran yang bertahan memilih mata pencaharian petani kebun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kacang tanah adalah salah satu komoditas unggulan wilayah ini. Selain itu hasil kebun berupa sayur-sayuran berupa terong, timun, labu siam dan beberapa lainnya yang tahan cuaca panas bisa ditanam di wilayah ini. Di sisi lain para transmigran lokal lebih memilih tanaman tahunan untuk ditanam di kebun, sementara untuk memenuhi kebutuhan harian mereka mencari ikan atau kepiting di laut, atau mencari kerang di dasar sungai.
Gambar 4. Hasil bumi para transmigran di Bonggo Timur
(Dokumentasi Penulis, Juni 2017)
Apapun yang terjadi dan tengah berlangsung di Sarmi, interaksi sosial antara para pendatang dan penduduk lokal mampu mewujudkan local wisdom tersendiri. Dengan keterbatasan akses pelayanan kesehatan dan akses informasi yang minim mereka tetap bisa bertahan, dan terbukti memiliki status gizi balita yang bahkan jauh lebih baik daripada saudara-saudaranya di republik ini. @dl