“Indonesia Darurat Kesehatan Mental?”

Maret 27, 2017

Opini – Jawa Pos 27 Maret 2017


Kasus kematian akibat bunuh diri 17 Maret di Jagakarsa, Jakarta Selatan sejatinya membuka mata kita tentang kondisi kesehatan mental masyarakat Indonesia. Tidak jauh dari pemberitaan tentang itu, kita kembali dibuat terkaget-kaget saat beberapa hari yang lalu koran ini menyajikan berita pendalaman kasus pornografi anak (child pornography) oleh subdit cyber crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya yang menambah jumlah korban dan pelaku yang menggunakan media Facebook sebagai jejaringnya. Saat ini kasus tersebut masih menjadi sumber ketakutan bagai mayoritas orangtua. Dua kasus tersebut dapat dimaknai sebagai fenomena iceberg yang memungkinkan kejadian serupa lebih besar jumlahnya di bawah permukaan pengungkapan media.
.

​Secara global, kesehatan mental merupakan isu sentral pembangunan kesehatan. WHO menegaskan bahwa definisi sehat merupakan definisi yang sifatnya integral; artinya tidak bukan sekedar bebas dari penyakit, namun kondisi dimana seseorang mencapai kesejahteraan paripurna secara fisik, mental dan sosial. Melihat tren global, kesehatan mental tidak lagi dipandang sebagai isu perifer dalam pembangunan kesehatan, mengingat betapa seriusnya dampak yang diakibatkan oleh lemahnya kondisi kesehatan mental. Apabila kita mencermati estimasi WHO mengenai disability-life adjusted years (DALY) pada tahun 2012 menempatkan Unipolar Depressive Disorders pada peringkat 9 dari 20 penyakit utama, apabila dibandingkan dengan penyakit menular (communicable diseases) atau penyakit tidak menular (noxn-communicable diseases) lainnya. Artinya, meskipun gangguan mental belum terlalu dipandang sebagai problem epidemiologis, nyatanya memiliki dampak yang cukup signifikan dalam membuat jutaan orang hidup dalam disabilitas.
Gangguan kesehatan mental membutuhkan fokus penuh dari para pengambil kebijakan, mengingat gangguan kesehatan mental mulai dianggap sebagai ancaman serius yang membutuhkan respon cepat dari penyedia layanan kesehatan. Survei yang dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa nilai kerugian dalam domain sumberdaya manusia yang harus ditanggung pemberi kerja mencapai US$36 juta setiap tahunnya akibat major depressive disorder (MDD) yang diderita para pekerjanya. Lebih lanjut, 10 negara partisipan survei WMH melaporkan adanya rata-rata kerugian produktivitas sampai dengan 22 hari/pekerja. Sayangnya sampai dengan saat ini, gangguan kesehatan mental masih tergolong low priority issue di mayoritas negara berkembang. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen para pengambil kebijakan untuk serius menangani masalah kesehatan mental, meskipun data-data epidemiologis menunjukkan bahwa problem ini tak lagi bisa dianggap remeh.

 

Sampai Dimana Kita?

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang lalu memang menunjukkan adanya penurunan prevalensi gangguan mental emosional, apabila dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2007. Namun, penurunan prevalensi kejadian kesehatan mental merupakan sebuah anomali, bahkan sesungguhnya bertentangan dengan kenyataan di lapangan. Hal ini semakin menegaskan bahwa pemerintah kekurangan data epidemiologis yang berkualitas untuk menyusun kebijakan kesehatan mental. Perangkat kebijakan yang menaungi upaya peningkatan kualitas kesehatan mental di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 mengenai Kesehatan Jiwa.
Upaya membentuk payung legislasi atas kebijakan kesehatan mental adalah usaha yang patut diapresiasi, meskipun pemerintah cenderung lambat dalam menjabarkannya dalam peraturan teknis. Selain itu, arah kebijakan kesehatan mental di Indonesia masih berkutat di area kuratif, belum memberikan porsi yang sama pada tahap preventif, promotif maupun rehabilitatif. Upaya tersebut dipengaruhi oleh komitmen pemerintah Indonesia dalam pembangunan kesehatan di Indonesia dengan alokasi belanja kesehatan yang hanya diberi slot 5% dari APBN 2016, sedangkan anggaran untuk kesehatan mental hanya rata-rata 1% dari total anggaran kesehatan. Selain isu mengenai data epidemiologis, proses legislasi dan health budgeting, isu lainnya yang menjadi sentral dalam perbincangan mengenai kesehatan mental di Indonesia adalah problem mengenai kesenjangan perawatan (treatment gap) serta stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan gangguan mental (ODGM).
Masalah kesehatan mental tak lagi dapat dianggap sebagai isu perifer dalam perancangan kebijakan kesehatan. Faktanya, gangguan kesehatan mental adalah ancaman global yang juga harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Kebijakan kesehatan mental yang evidence-based tentunya tak mungkin dapat disusun apabila data epidemiologis yang berkualitas tidak tersedia, sehingga langkah pertama yang harus diambil oleh pemerintah adalah berupaya untuk memotret kondisi kesehatan mental masyarakat melalui riset yang komperhensif. Dengan data yang komperhensif, perancangan program kunci dan alokasi anggaran tentunya akan dapat diatur secara proporsional. Selanjutnya komitmen politik yang progresif menjadi faktor pendorong mengatasi kesenjangan perawatan. Pemerintah harus merevitalisasi upaya dukungan kesehatan mental yang berkualitas berbasis keluarga dan komunitas, yang saat ini linier dengan sistem kesehatan nasional kita.
#SKMuntukRepublik #inspiringSKM

Oleh: Ilham Akhsanu Ridlo, S.KM., M.Kes

(Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan Ketua Pengcab Aktivis Persakmi Kota Surabaya)

***
Sahabat SKM yang memiliki tulisan tentang #infoKESMAS, jangan ragu share ke Tim Public Health 2.0 Indonesia via email ph2.0persakmi@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

© PERSAKMI All rights Reserved